Yuni adalah potongan remaja yang dituntut terlalu banyak, diharapkan bertumbuh tapi tidak diberi jeda dan ruang untuk tumbuh. Yuni dan teman-teman perempuannya diharuskan kawin setelah lulus sekolah, karena mempunyai perawan tua itu adalah aib. Mereka menikah tapi juga tak dibekali pendidikan seks dan rumah tangga.
Kamila Andini berhasil memperlihatkan perlawanan seorang Yuni sebagai simbol teriakan perempuan Indonesia di tengah gempuran budaya patriarki. Anggapan konservatif budaya ketimuran tentang jargon perempuan hanya boleh berada di ranah sumur, dapur, kasur.
Menonton Yuni seperti mendengar jeritan setiap perempuan, bahwa kami pun masih punya mimpi, kami berhak bersuara bahkan terbang sangat tinggi. Film ini memang tak akan menjawab masalah-masalah tragisnya perempuan di negeri ini. Setidaknya Yuni mewakili kami para perempuan, bisa menunjukkan representasi dan mengangkat beragam masalah fundamental di tengah belenggu budaya patriarki.