Masih terlalu awal bila disebut senja petang, tetapi aku bisa merasakan gemeresik lembut angin sore yang seolah berbisik padaku untuk pergi ke tempat itu. Angin seakan-akan menuntun dan membuka jalanku, menyingkirkan setiap helai dedaunan yang jatuh di musim gugur, hingga akhirnya membawa serta langkahku ke sebuah bangunan megah bergaya Eropa tak jauh dari jalur trem yang dibangun Jepang sekitar tiga tahun lalu, tepatnya pertengahan 1889.
Aku berani bertaruh, bangunan itu adalah satu-satunya hotel modern di seantero Joseon yang sedang tidak stabil ini. Glory Hotel. Pemiliknya adalah seorang wanita cantik dan kaya berkebangsaan Jepang, meski sejatinya ia berdarah Joseon.
Wanita itu, Kudo Hina, mewarisi kekayaan yang melimpah dari mendiang suami Jepang-nya yang meninggal tak lama setelah mereka menikah. Hina lalu menyewaku dan anak buahku untuk menjaga tempat itu. Aku menganggap hotel itu seperti rumah kedua setelah sasana judo-ku di Jinggogae.