Kaki saya baru saja menuruni mobil. Perjalanan lumayan jauh dari rumah ke resort ini, cukup membuat pinggang pegal. Sembari sedikit meluruskan sendi, saya merasakan udara sejuk menembus pori-pori. Otomatis, saya hirup nafas dalam-dalam, segar. Di kota Padang, tidak ada yang sesegar ini. Maklum, pinggir pantai.
Sebenarnya saya cukup sensitif dengan udara dingin. Entah kenapa, tidak di kala itu. Keindahan yang disapu mata, berhasil mengenyampingkan sensor dingin di tubuh saya untuk tidak bekerja ekstra sementara waktu. Danau indah seperti lukisan, bebas saya saksikan dari salah satu sisi resort.
Danau Maninjau, sering mendengar namanya, namun ini pertama kalinya saya ke sana. Langsung dibuat cinta. Biru pekat permukaan air bak cermin langit, berbatas hijaunya perbukitan dengan atap bumi yang berisi gumpalan awan seputih kapas, serta sawah berjenjang kekuningan dengan bulir padi yang hampir ranum. Apakah berlibihan bila saya mengatakannya seindah lukisan? Tidak.
Indah, segar, tenang. Andai kata healing sudah mainstream saat itu, sekitar tahun 2010, mungkin sudah saya pakai sebagai definisinya.
Ingatan puluhan tahun lalu, ketika saya diajak ikut dalam salah satu rangkaian acara kantor orang tua, secara tak sengaja menciptakan asa begitu kuat. “Nanti, saat saya sudah menikah, saya akan ke sini kembali. Mengulang menikmati keindahan Maninjau dari ketinggian, bersama teman hidup pilihan Tuhan.” Ini lah alasan utama saya ingin kembali ke Danau Maninjau, menapaki lebih banyak lagi pesonanya.