“Bu, gimana caranya cetak buku kaya gini?”
Ucap seorang gadis kecil kelas 5 SD sembari menyodorkan majalah anak-anak yang dibelinya dari sisa uang saku yang ia sisihkan setiap harinya. Di dalam majalah tersebut, tertulis cerita tentang penulis cilik yang mempromosikan buku karyanya. Dalam otak gadis kecil itu, untuk mencetak buku yang ada di majalah tersebut adalah dengan pergi ke tukang fotocopy yang ada di ujung gang kampungnya atau dengan pergi ke toko alat tulis tempatnya membeli majalah anak-anak ini. Dia melihat setiap Kamis siang sepulang sekolah, saat dia membeli majalah itu, penjual di toko alat tulis tersebut sibuk melayani anak-anak SMP mengantre untuk fotocopy. Beberapa anak-anak SMP itu juga meminta untuk menjilid hasil fotocopy menjadi sebuah buku. Mungkin, seperti itu caranya membuat buku.
Otaknya masih belum sempurna berkembang karena umurnya saja belum genap 10 tahun, tahu apa dia tentang dunia. Tetapi, rasa penasaran yang begitu besar mendorongnya untuk bertanya banyak hal kepada ibunya. Namun sayangnya, kepala orang dewasa sudah dipenuhi dengan berbagai macam permasalahan hidup, sehingga pertanyaan itu dijawab sekenanya saja.
“Apa bisa aku cetak buku yang ku tulis di toko alat tulis itu?”
Gadis kecil itu masih memburu ibunya dengan pertanyaan yang sama karena dia belum mendapatkan jawaban yang diinginkannya.
Ibunya melirik sebentar, mengambil majalah tersebut dan melontarkan jawaban
“Nggak bisa, kalau cetak buku seperti ini harus di percetakan.”
“Percetakan itu dimana, Bu?”
“Jauh, adanya di kota besar seperti Jakarta.”
Sulit untuknya memproses jawaban ibunya dengan baik. Namun, dengan semangat dia mengingat-ingat berapa banyak tulisan yang telah ditulisnya di buku tulis agar bisa dicetak seperti penulis cilik dalam majalah tersebut.
“Di kampung kita nggak ada percetakan, nanti saja kalau sudah besar ya.”
“Kalau sudah besar ya…”
…
Menunggu besar itu melelahkan. Ternyata, menjadi anak-anak tidak terlalu menyenangkan. Rasanya ingin cepat-cepat saja dia mencapai fase besar seperti yang ibunya katakan. Tetapi, dia akan sangat sedih jika nantinya harus berpisah dengan majalah anak-anak kesayangannya karena selama ini majalah itu adalah temannya. Semakin usianya bertambah, dia tidak hanya membaca majalah anak-anak, dia juga penasaran dengan majalah yang membahas permasalahan orang dewasa. Krisis BBM, kemiskinan, dan beberapa permasalahan orang dewasa lainnya, membuat otak gadis kecil yang beranjak remaja itu berputar. Dia juga ingin berpendapat, tapi coba hey lihatlah… Tabloid orang dewasa itu memberikan syarat minimal 17 tahun untuk memberikan pendapat dan mengirimkan opini ke tabloid tersebut. Maka, kembali dia bertanya kepada ibunya.
“Bu, apakah aku boleh pinjam HP ibu? Apakah ibu ada pulsa?”
Ibunya yang sedang sibuk memikirkan nasib keluarga mereka, tanpa curiga memberikan HPnya cuma-cuma.
Jemari gadis remaja itu mengetik dengan cepat opini sotoy yang ada di otaknya. Dia memencet tombol “kirim” tanpa perlu pikir panjang. Ternyata, otaknya meskipun sudah sedikit berkembang, belum bisa berpikir panjang.
Beberapa minggu setelahnya, wajah remaja itu puas karena melihat nama ibunya terpampang dalam tabloid dengan opini sotoy yang ditulisnya. Bisa-bisanya redaksi tabloid itu polos saja memasukkan opini sotoy anak remaja yang belum genap 15 tahun itu. Tak lama opini tersebut ditayangkan, ibunya mendapat banyak SMS asing dari orang-orang. Ibunya hanya geleng-geleng kepala saja melihat kelakuan anak remaja tanggung itu. Dengan tak tahu diri, remaja itu berkata
“Ini kaos buat ibu, hadiah karena opiniku dimuat di tabloid.”
…