Menggeser genre bacaan yang tadinya banyak dipenuhi oleh romance ke genre yang belakangan ini mulai makin punya posisi istimewa di hati banyak pembaca — bahkan sampai ada komunitasnya lho — nggak ada salahnya kan? Maka saya mencoba mencicipi novel Jepang yang sudah cukup banyak direkomendasikan.
Girls in the Dark karya Akiyoshi Rikako ini sudah berkali-kali cetak ulang di tanah air. Bahkan buku yang saya miliki merupakan versi cetak ulang kesekian.
Kalau sudah begini, apalagi nggak jarang jadi perbincangan para pembaca yang tengah mencoba menjajal genre yang “nggak ada manis-manisnya” tentang kehidupan anak-anak SMA putri, belum lagi sisi “ngeri” yang nggak ujug-ujug muncul, seru rasanya.
Apa yang ingin disampaikan oleh gadis itu?
Gadis itu mati.
Ketua Club Sastra, Shiraishi Itsumi, mati. Di tangannya ada setangkai bunga lily.
Pembunuhan? Bunuh diri? Tidak ada yang tahu. Satu dari enam gadis anggota Klub Sastra digosipkan sebagai pembunuh gadis cantik berkarisma itu.
Seminggu sesudahnya, Klub Sastra mengadakan pertemuan. Mereka ingin mengenang mantan ketua mereka dengan sebuah cerita pendek. Namun ternyata, cerita pendek yang mereka buat adalah analisis masing-masing tentang siapa pembunuh yang sebenarnya. Keenam gadis itu bergantian membaca analisis mereka, tapi ….
Kau … pernah berpikir membunuh seseorang?
Nggak pernah saya duga kalau efek mencicipi thriller dari salah satu penulis kenamaan Negeri Matahari Terbit begini akan membawa imajinasi saya pada potongan video ala ala animasi sepanjang jalan saya membuka setiap halaman bukunya. Kengerian yang nggak serta-merta. Tapi ….