Salah satu hobi saya adalah traveling. Setiap kali ingin traveling, saya selalu minta ijin orang tua padahal saya tinggal jauh dari mereka alias merantau. Sebenarnya minta ijin ke mama aja sih, karena mama orangnya khawatiran sementara papa orangnya selow.
Proses minta ijin ke mama adalah hal yang mendebarkan, karena harus siap dengan jawaban yang bisa meluluhkan pertanyaan yang menjurus pada kekhawatiran. Ditambah lagi dengan ceramah “Kamu jalan-jalan mulu, sebaiknya uangnya dipakai untuk umrah“.
Sebagai umat islam, pasti ada niat untuk melaksanakan umrah dan haji, namun saat itu saya merasa belum pantas untuk melaksanakan ibadah umrah. Merasa belum alim, belum syar’i, shalat belum tepat waktu dan ibadah sunahnya masih kurang.
Lalu sampailah akhirnya mama tidak sekedar menceramahi namun benar-benar mengajak umrah. Mungkin saat itu saya mendapatkan hidayah sehingga tergerak untuk ikut. Pola pikir saya mulai berubah, bahwa umrah itu adalah ibadah untuk semua umat muslim sama seperti shalat. Tidak harus menunggu pantas baru beribadah, tapi beribadahlah supaya keimanan bertambah.
Alhamdulillah, pada April 2019 saya dan kedua orang tua menunaikan ibadah umrah selama 2 minggu. Sebagai umrah perdana tentu banyak hal baru dan berkesan bagi saya. Oleh karena itu pada postingan kali ini saya ingin bercerita tentang culture shock saat pertama kali mengunjungi kota Madinah dan Mekkah dan beribadah di Masjidil haram dan Masjid Nabawi.