Assalamu’alaykum Diaris.
Tulisan kali ini merupakan sebuah pengalaman yang menurutku kurang mengenakan selama aku hidup bertetangga. Sebenarnya aku agak ragu untuk nulis pengalaman ini, tapi ya daripada mengganjal di hati, mending aku share disini siapa tahu ada yang pernah mengalami juga, anggaplah sebagai self healing untuk aku pribadi.
Setelah dua tahun menikah, dan dua tahun pula mengontrak rumah, akhirnya dengan segala macam pertimbangan aku dan suami memutuskan untuk memiliki hunian tetap. Berdasarkan beberapa kali survey dengan proses yang panjang, akhirnya kami pun tinggal di sebuah perumahan sederhana dengan penduduk yang cukup ramai, maksudnya bukan perumahan baru. Kami sengaja memilih rumah siap huni agar bisa langsung ditempati tanpa perlu lagi mengeluarkan budget untuk membuat dapur seperti rumah baru di perumahan pada umumnya, paling hanya sedikit renovasi.
Sejak awal tinggal di sini, aku mendapat sambutan hangat dari tetangga-tetangga sekitar dan itu membuatku merasa nyaman untuk tinggal di sini. Di blok tempat tinggalku ini, sepertinya aku dan suami merupakan pasangan muda satu-satunya karena mayoritas tetangga di sini rata-rata berusia di atas 30 tahun. Kadang aku merasa takut keberadaanku mengganggu tetangga, mengingat aku punya anak balita yang baru berusia satu tahun saat pertama kali pindah ke sini. Tahu sendiri kan ya seperti apa tingkahnya anak balita, apalagi kalau udah tantrum. Maa Sha Alloh. Akan tetapi, dengan melihat keramahan tetangga di sini, membuatku sedikit tenang, apalagi setelah aku tahu ternyata di sini bukan hanya aku aja yang punya balita, bahkan ada juga yang baru melahirkan anak keduanya. Alhamdulillaah ternyata aku nggak sendiri.
Seiring berjalannya waktu, sudah hampir dua tahun keluarga kecilku tinggal di sini. Anak balitaku pun sudah mulai tumbuh dan berkembang. Dia sudah lepas ASI karena sudah masuk usia dua tahun. Namun, diusia dua tahun ini anakku jadi lebih mudah emosi, tantrum, marah, bahkan tak jarang dia menangis sambil jerit-jerit. Segala hal bisa jadi masalah besar baginya, misalnya jika tiba-tiba mati listrik, anak balitaku ini bisa emosi, marah, dia merengek agar listrik dinyalakan, kami sebagai orang tua hanya berusaha untuk menenangkan tangisannya. Risih juga kan takut suara tangisannya mengganggu tetangga sekitar. Berbagai cara kami lakukan, meski tak selalu berhasil. Ujung-ujungnya anak balitaku berhenti menangis setelah dia merasa lelah sendiri, nasib baik kalau listrik segera menyala.