MENJADI SEORANG FOODIE atau pencinta makanan di era media sosial sekarang bukan lagi sekadar untuk melampiaskan kesukaan masak dan/atau makan. Juga bukan lagi sekadar memanfaatkan kesempatan untuk mencoba-coba beragam jenis makanan.
Kini malahan ‘titel’ sebagai seorang foodie bisa menjadi karir tersendiri, entah dengan menjadi food blogger atau food vlogger atau food reviewer atau food storyteller atau apa pun namanya.
Bagi seorang food enthusiast, tekstur dan aroma suatu makanan saja sudah cukup memanjakan. Bahkan hanya membicarakan tentang makanan pun sudah bisa bikin 'klepek-klepek' *agak lebay sedikit*.
Namun adakah tempat bagi penggemar makanan atau foodie dalam Islam?
Selama ini saya banyak membaca, tak hanya dari artikel-artikel kesehatan, namun juga bagaimana Al-Qur’an dan hadis menyebut-nyebut makanan dari sisi yang 'tidak enak,' misalnya bahwa makanan yang kita masukkan ke dalam mulut dan perut merupakan sumber berbagai macam penyakit.
Bahkan agar sehat, kita justru dianjurkan untuk mengurangi makan (atau untuk berpuasa) dan mengurangi tidur.
Imam Ahmad bin Hambal pernah menyebutkan pula bahwa manusia lebih membutuhkan ilmu agama ketimbang membutuhkan roti dan air minum (makanan), karena ilmu agama dibutuhkan setiap waktu, sementara makanan hanya dibutuhkan sekali atau dua kali saja setiap harinya (Muslim.or.id).
Jadi, seperti apa sebenarnya Islam memandang orang-orang yang menggemari makanan atau foodie?