“Tuhan telah mati. Tuhan tetap mati. Dan kitalah yang membunuh-Nya.”
Saya membaca kalimat itu dalam Zarathustra, edisi Bahasa Indonesia yang diterjemahkan dengan sangat indah oleh HB Jassin, seorang penulis, editor, dan kritikus sastra hebat Indonesia. Kalimatnya singkat, tapi menyisakan gema panjang. Bukan sekadar provokasi, tapi semacam lonceng yang menandai berakhirnya satu zaman—dan lahirnya sebuah kekosongan yang belum kita pahami sepenuhnya.
Dalam bukunya, Nietzsche menuliskan nama Zarathustra. Ia bukan tokoh fiksi biasa, melainkan seorang pertapa yang turun dari gunung, membawa pesan yang tak ingin didengar siapa pun. Pesannya bukan tentang keselamatan, bukan pula tentang kebenaran absolut. Justru sebaliknya: ia menyampaikan bahwa nilai-nilai lama telah usang, dan manusia harus belajar hidup tanpa pegangan transenden.