Nurul Rabiatul Adawiyah
Hallo...! Terimakasih telah membaca tulisan-tulisan teh nurul.. mohon kritik dan sarannya di kolom komentar yang bersifat membangun yah😊 Terimakasih.. Salam NRA

Gaji DPR dan Harga yang Harus Dibayar Rakyat

25 August, 2025

 

“Gaji DPR dan Harga yang Harus Dibayar Rakyat”

 

Di tengah hiruk pikuk kehidupan rakyat yang semakin berat, isu tentang gaji anggota DPR kembali mencuat. Rasanya bukan sekali dua kali publik menyoroti besaran gaji dan tunjangan para wakil rakyat. Kontras sekali, ketika rakyat sedang berjibaku dengan harga bahan pokok, biaya pendidikan, kesehatan, dan transportasi, mereka yang duduk di kursi empuk parlemen justru mendapatkan fasilitas yang berlimpah.

 

Masalah utamanya terletak pada jarak yang semakin lebar antara kesejahteraan rakyat dengan kesejahteraan pejabat. Gaji DPR tidak hanya berupa upah pokok, tetapi ditambah dengan tunjangan rumah, transportasi, staf ahli, hingga berbagai fasilitas lainnya. Publik kemudian bertanya-tanya: apakah benar penghasilan sebesar itu sebanding dengan kerja mereka yang seharusnya menjadi pelayan rakyat? Ataukah sistem yang ada justru menempatkan pejabat sebagai kelompok istimewa yang dilindungi dari kesulitan hidup yang dirasakan rakyat?

 

Jika ditelusuri lebih dalam, akar persoalan ini tidak lepas dari sistem kapitalis-demokrasi yang dijalankan. Dalam logika demokrasi modern, jabatan politik seringkali dipandang sebagai karier, bahkan “profesi elit” yang mendatangkan keuntungan. Bukan lagi amanah yang penuh tanggung jawab, melainkan jalan menuju kesejahteraan pribadi. Maka tidak heran, politik berubah menjadi ajang kompetisi penuh biaya tinggi, di mana setiap kursi diperebutkan mati-matian karena di baliknya ada imbalan gaji dan fasilitas yang menggiurkan.

 

Dampaknya sangat nyata bagi rakyat. Alih-alih merasakan manfaat nyata dari keberadaan parlemen, mereka justru terbebani oleh biaya hidup yang kian melambung. Pajak yang dikutip dari keringat rakyat pada akhirnya mengalir sebagian besar untuk menggaji para pejabat, bukan untuk meningkatkan layanan publik. Hubungan antara rakyat dan wakilnya menjadi kian renggang, karena yang satu menanggung beban, sementara yang lain menikmati kenyamanan.

 

Islam memandang persoalan ini dengan sudut pandang yang sangat berbeda. Dalam sejarah pemerintahan Islam, jabatan politik bukanlah ladang mencari keuntungan pribadi. Seorang khalifah atau pejabat negara diposisikan sebagai pelayan umat, bukan tuan yang dilayani. Tanggung jawab mereka adalah memastikan rakyat sejahtera, bukan mengutamakan kesejahteraan dirinya.

 

Jika menengok ke masa Khalifah Umar bin Khattab, misalnya, beliau sangat berhati-hati dalam mengambil gaji dari baitul mal. Umar bahkan pernah dikritik rakyatnya karena dianggap mengambil terlalu sedikit, sehingga dikhawatirkan justru mengganggu fokusnya dalam memimpin. Tetapi prinsip yang dipegang tetap jelas gaji pejabat bukan hak istimewa, melainkan sekadar kompensasi agar mereka bisa menjalankan tugas tanpa perlu sibuk mencari nafkah di luar. Bahkan, ada banyak catatan di mana pejabat Islam menolak fasilitas berlebihan, karena khawatir akan menjerumuskan mereka pada sikap zalim terhadap rakyat.

 

Inilah bedanya sistem Islam dengan sistem kapitalis-demokrasi hari ini. Dalam demokrasi, jabatan adalah privilege dalam Islam, jabatan adalah amanah. Dalam demokrasi, rakyat berulang kali disuguhi janji manis sementara pejabat hidup berkecukupan; dalam Islam, pemimpin menggigil ketakutan jika ada rakyat yang kelaparan.

 

Maka, solusi sejatinya bukan sekadar memangkas gaji DPR atau membatasi tunjangan mereka. Selama sistem yang digunakan adalah demokrasi kapitalistik, persoalan yang sama akan terus berulang. Solusi mendasar terletak pada perubahan paradigma: bahwa jabatan politik harus kembali dipandang sebagai amanah, bukan profesi elit. Paradigma ini hanya bisa terwujud jika sistem yang diterapkan juga mendukungnya, yakni sistem pemerintahan Islam yang pernah terbukti selama berabad-abad menegakkan keadilan dan kesejahteraan.

Karena pada akhirnya, gaji pejabat bukan soal angka, melainkan soal cara pandang. Apakah mereka hadir untuk mengabdi kepada rakyat, atau rakyat yang terus-menerus dipaksa mengabdi pada mereka.

---

 

Previous Post:

Cinta Jadi Benci

0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments

Halo, !

Categories

More than 3500 female bloggers registered

PT. PEREMPUAN DIGITAL INDONESIA
Jakarta Selatan, Indonesia

calendar-full
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram