"I want every girl to know that her voice can change the world." — Malala Yousafzai
Pada tahun 1977, PBB Secara resmi mengumumkan bahwa pada tanggal 8 Maret sebagai hari Perempuan Internesional yang harus diperingati setiap tahunnya. Peringatan ini dirayakan untuk menghormati perjuangan perempuan di seluruh dunia dan untuk memperjuangkan kesetaraan gender.
Pentingnya Hari Perempuan Internasional
Pentingnya Hari Perempuan Internasional (IWD) dirayakan secara global selain untuk meghormati pencampaian perempuan, juga mengadvokasi kesetaraan gender. Pada tahun 2025 temanya adalah “Untuk SEMUA Perempuan dan Anak Perempuan: Hak, Kesetaraan, Permdayaan, yang menekan urgensi dan untuk mempercepat kemajuan menuju kesetaraan gender.
Dari sumber International Women’s Day, tema yang diusung kali ini adalah “Accelarate Action” atau “Mempercepat Aksi”.
Seruan global untuk mengakui dan mendukung strategi, sumber daya, aktivitas untuk kemajuan perempuan dengan dampak positif. Tindak yang cepat dan tegas untuk mempercepat kesetaraan gender.
Sejarah Hari Perempuan Internasional
Hari Prempuan Internasional pertama kali dirayakan pada tanggal 28 Februari 1909 di New York, diselenggarakan oleh Parati Sosialis Amerika. Mereka yang merayakan dari para kaum buruh. Mencuat sejak adanya gerakan kaum buruh di Amerika Utara dan Eropa. Saat itu perlakukan terhadap perempuan sangat semena-mena oleh para atasan , misalnya mendapatkan upah yang rendah, jam kerja melebihi dari 12 jam, tidak ada hak normatif terhadap kesehatan dan jaminan sosial , diskriminasi dalam hak pilih dan politik.
Akhirnya tahun 1908, gerakan perempuan New York mengorganisir pemogokon 15.000 buruh perempuan di sebuah pabrik garmen, dengan tuntutan gaji, jam kerja lebih pendeng dan hak memilih. Mereka jadi lebihb erani dan aktif kampanyekan perubahan.
Satu persatu di negara eropa, mulai di Denmark, pada konperensi International Perempuan Pekerja di Kopenhagen. Clara Zetkin , pemimpin Partai Sosial Demokrat di German yang mengusulkan dan akhirnya meresmikan Hari Perempuan Internasional pada tanggal 8 Maret. 1910 dan tiap tahun selalu diadakan peringatan ini untuk memperjuangkan tuntuan perempuan.
Hebatnya dalam konperensi di atas dihadiri oleh 100 perempuan dari 17 negara yang mewakili serikat pekerja, partai sosialis dan klub pekerja perempuan.
Kesetaraan Perempuan di keluarga
Dalam budaya patriarki secara eksplisit terungkap bahwa perempuan mempunyai kedudukan sebagai milik kaum pria, pelayan/asisten untuk memenuhi kebutuhan pria, mainan (penghibur kaum pria), penghasil keturunan. Sangat tergambar dengan jelas bahwa perempuan tidak punya kemandirian dan hidup hanya tergantung dari kaum pria. Hal ini secara turun temurun karena tidak adanya kemampuan atau daya saing seorang perempuan. Tetapi semakin berkembangnya dunia dan berkat perjuangan RA Kartini yang memperjuangkan hak perempuan, maka kita sekarang dapat melihat perempuan bukan hanya pelayan/asisten lagi bagi seorang lelaki tetapi punya posisi.
Adanya pergeseran atau perubahan budaya patriarki , perempuan dianggap kaum yang lemah, bertugas hanya di dapur, sumur dan kasur. Dengan adanya budaya dan konstruksi sosial yang berkembang di masyarakat yang memarjinal kaum perempuan, maka muncullah kesetaraan gender. Kesetaraan gender juga meliputi penghapusan diskriminasi dan ketidakadilan struktural, baik terhadap laki-laki maupun perempuan Keadilan gender adalah proses dan perlakuan adil terhadap perempuan. Keadilan gender berarti tidak ada pembebanan peran, beban ganda, subordinasi, marginalisasi dan kekerasan terhadap perempuan.
Sayangnya, kesetaraan yang diperjuangkan oleh perempuan di sektor publik, menjadi bumerang dan menimbulkan kekhawatiran dan terganggunya tatanan dan keselarasan sosial, yang berawal dari kurangnya peran perempuan dalam keluarga. Beberapa pekerjaan dalam keluarga seperti memasak, mencuci piring, mengurus anak yang diyakini sebagai peran yang harus dilakukan oleh perempuan, mulai sedikit demi sedikit ditinggalkan, digantikan oleh orang lain seperti pembantu.
Namun, demikian sekarang ini telah dibicarakan tentang peran yang berbasiskan kesetaraan gender, dimana kesetaraan gender adalah konsep hubungan sosial yang tidak membedakan peran laki-laki dan perempuan.
Kesetaraan gender dalam keluarga tentunya tidak terlepas dari bagaimana seorang laki-laki sebagai suami dan perempuan sebagai istri yang saling mengerti dan mensupport dari kedua belah pihak dan tidak mempermasalahkan satu sama lain. Di era sekarang, dimana pengembangan perempuan yang bekerja di luar rumah sangat berpengaruh dan membawa dampak perubahan sosial pada perempuan perempuan dalam keluarga dan masyarakat. Jumlah perempuan yang bekerja di luar rumah juga semakin meningkat, terkadang perempuan lupa kodratnya sebagai perempuan dan sebagai istri di rumah. Solusi untuk perempuan agar tidak menyalahgunakan makna kesetaraan gender adalah dengan menegaskan kembali arti yang benar emansipasi perempuan, kesetaraan gender .
Kesetaraan gender dalam bidang politik
Menurut Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak Perempuan, penting sekali keterwakilan perempuan di parlemen Indonesia.
Saat ini perempuan Indonesia masih di bawah 30% duduk di parlemen. Penting sekali peningkatan partisipasi perempuan supaya pengambilan keputusan politik dapat lebih akomodatif dan substansial. Juga dalam menentukan perundang-undangan perempuan dan anak di ruang publik, peran perempuan sangat besar .
Sayangnya, kesempatan perempuan untuk terjun ke dunia politik masih sangat terbatas, baik dari pihak partai atau peran perempuan itu sendiri. Padahal dalam keterwakilan perempuan sudah diadakan dua metode berbasis pendidikan politik dengan melibatkan perempuan dalam peran aktif kepengurusan partai dan pemilu sebagai calon anggota legislatif. Metode berbasis sosialisasi yaitu Kementerian dan lembaga dan sosialisasi mengenai pentingnya keterwakilan perempuan dengan berbagai saluran secara konvensional tatap muka maupun digital.
Saat ini sedang digodok aturan penyusunan RUU Kesetaraan Gender yang mengatur keterwakilan perempuan tidak hanya di Lembaga legislatif tetapi juga eksekutif dan yudikatif. Apabila RUU ini selesai, maka akan memberikan akses perempuan untuk berpartisipasi dalam pembangunan.
Overthinking
Perempuan lebih besar sekitar 70% mengalami apa yang disebut dengan “overthinking”. Perempuan punya resiko dua kali lebih besar mengalami repetitive negatif thoughts, atau pemikiran negatif yang berulang dibandingkan dengan laki-laki, karena perempuan punya peran ganda yang tidak dimiliki oleh laki-laki.
Perempuan Indonesia bukan hanya sekedar jadi ibu, tetapi sering juga menjadi penopang keluarga. Tekanan aspek kehidupan, tekanan psikologis yang mereka alami cukup besar.
Tetapi bagusnya perempuan punya komunal yang kuat yang membuat mereka bisa berbagi cerita dan mencurahkan perasaan kepada orang lain.