Sebagai menantu, terkadang ada momen dimana Ibu kesulitan dalam menghadapi sikap mertua. Bila situasi ini terjadi terus menerus, akan timbul perasaan negatif (kesal, tidak nyaman, segan, malu, dll) yang dapat berakibat buruk dalam hubungan dengan mertua. Parahnya, situasi tersebut dapat membuat Ibu kehilangan rasa hormat dan merasa terpaksa dalam melakukan sesuatu bila itu berhubungan dengan mertua.
Banyak penelitian menyebutkan hubungan dengan mertua penuh dengan gejolak dan dinamikanya, terutama pada menantu perempuan dan mertua perempuan. Relasi keduanya dianggap kompleks karena hal yang melatarbelakanginya sangat beragam, seperti perbedaan umur, budaya, pola pikir, cara pandang, prinsip, kepercayaan, dll.
Mengapa sulit menjalin hubungan harmonis dengan mertua?
Menghadapi dan beradaptasi dengan pasangan Ibu saja memerlukan waktu yang tidak sebentar, apalagi dengan mertua. Alasan yang menjadi pemicunya sangat beragam, tetapi ada inti permasalahan dari semua alasan tersebut yang menyebabkan tidak harmonisnya hubungan dengan mertua. Penting bagi Ibu untuk memahami hal ini agar dapat memberikan respon tepat dan mengatasinya secara efektif. Yuk, kita simak beberapa inti permasalahannya dibawah ini!
Hampir seluruh hidup pasangan Ibu dihabiskan bersama dengan orang tuanya. Meskipun sudah menikah, terkadang ada mertua yang merasa ‘tidak rela’ melepas anaknya menikah dan masih ingin memiliki kendali dalam hidup anaknya karena takut akan dilupakan. Di mata orang tua, tidak masalah meskipun sudah menikah karena pasangan Ibu akan tetap dilihat sebagai anak, karena itu selalu menginginkan yang terbaik dalam hidupnya.
Keinginan inilah yang mendorong mertua cepat mengkritik atau menilai tindakan Ibu dalam berbagai hal—mulai dari memasak, mencuci, melakukan pekerjaan rumah, sampai cara mengasuh anak. Alhasil, mertua ikut andil dalam urusan rumah tangga, membanding-bandingkan, menegur sambil menyindir, dll.
Terkadang sulit untuk menetapkan batasan dengan mertua, tapi saat Ibu sudah menetapkan batasan dan tidak dihargai, momen itu akan membuat hilangnya rasa saling menghormati. Hubungan yang seperti ini dapat merusak komunikasi dan bisa jadi terlihat di setiap tindakan yang Ibu lakukan saat berada dekat dengan mertua.
Greif (2019) melihat bahwa tantangan menantu dan mertua perempuan ialah menemukan kembali identitas di dalam unit keluarga yang baru terbentuk dan bagaimana sebaiknya menempatkan diri dalam keluarga besar. Oleh karena peran yang diemban sama, dianjurkan bagi Ibu untuk membuat batasan yang jelas agar hubungan dengan mertua dapat berkembang ke arah yang positif serta menghindari adanya intervensi berlebihan.
Di zaman yang sudah modern ini, apakah Ibu mungkin masih mendengar mitos-mitos tentang kehamilan, hubungan suami-istri, dan mengasuh anak yang sering Ibu dengar dari orang tua atau mertua? Beberapa contohnya, yaitu:
Pada zaman orang tua atau mertua Ibu hidup—dimana akses informasi yang terbatas, adat kepercayaan dan turun temurun, serta sulit menjangkau pelayanan kesehatan—pemikiran diatas bisa dianggap sebagai suatu kebenaran. Namun, bagi Ibu yang hidup saat keadaan sudah berubah dan juga mudah mendapat wawasan pengetahuan, pemahaman ini terasa kuno, tidak ilmiah, dan sulit diterima akal.
Tidak mudah bagi orang tua/mertua untuk menerima atau mempelajari sesuatu yang baru di umur yang tidak lagi muda, apalagi berhubungan dengan pengalamannya—tapi bukan berarti tidak mungkin. Bila mertua Ibu bersikeras menganggap pemikirannya adalah hal yang mutlak, ini bisa jadi pertanda mertua Ibu sulit menerima perubahan. Padahal, perbedaan merupakan hal yang baik, tetapi saat menantu dan mertua tidak dapat saling menerima dan memahami adanya perbedaan pola pikir, inilah yang memicu konflik tidak sehat dalam hubungan dengan mertua.
Hubungan dengan mertua dapat memengaruhi persepsi anak tentang relasi keluarga
Sebagai sosok pertama dan terdekat yang dimiliki anak, orang tua merupakan kontributor utama dalam perkembangan kesehatan mereka. Setiap tindakan, tutur kata, nilai dan ajaran orang tua menjadi dasar mereka dalam menjalani berbagai aspek kehidupan.
Lingkungan keluarga yang positif memberi kesempatan bagi anak membangun kemampuan emosionalnya dan memampukan mereka mengatasi kecemasan, ketakutan, serta tantangan. Selain itu, mengajarkan anak kemampuan bersosialisasi, seperti pengendalian diri, kerjasama, menerima perbedaan perspektif sehingga mereka mampu menjalin dan menjaga relasi yang positif dengan teman sebayanya maupun yang lebih tua.
Terjalinnya hubungan dengan mertua yang harmonis, juga memberikan rasa aman dan nyaman pada anak yang sedang belajar bersosialisasi. Anak akan menjalin ikatan positif secara mental dengan mertua. Penelitian Fingerman (2004) menunjukkan bahwa kualitas kedekatan menantu dan mertua perempuan memengaruhi kedalaman ikatan dan kesenangan dengan cucu mereka. Praktik hubungan timbal balik positif inilah yang dapat menstimulasi anak, meningkatkan rasa kekeluargaan dan hormat kepada yang lebih tua.
Dalam hal mengasuh anak, tentu mertua sudah memiliki pengalaman yang lebih mumpuni, apalagi jika Ibu baru melahirkan anak pertama. Namun, seringkali hal ini menjadi pemicu rusaknya hubungan dengan mertua karena perbedaan cara asuh-mertua dengan pengalamannya, dan Ibu dengan pengetahuan serta harapannya. Tidak ada yang salah dari keduanya karena baik Ibu maupun mertua memiliki ekspektasi yang berbeda.
Untuk jalan tengahnya, perbedaan ini dapat Ibu jadikan kesempatan untuk berdiskusi dengan mertua tentang cara asuh yang terbaik untuk anak. Keterlibatan mertua memberi pandangan mengasuh anak akan membangun rasa sayang kepada cucu dan menganggap seperti anak sendiri.
Perlahan tapi pasti, hal ini bisa Ibu bangun dan kembangkan dalam hubungan dengan mertua
Hubungan dengan mertua tidak harus selalu dianggap negatif. Dibutuhkan usaha ekstra untuk mengubah persepsi yang sudah tertanam lama. Jika tidak diatasi, dapat memperburuk keadaan. Anggapan negatif itu bisa terjadi saat ekspektasi Ibu dan mertua tidak menemukan kesepakatan, memaksakan kehendak, dan akhirnya tenggelam dalam emosi serta asumsi masing-masing.
Komunikasi merupakan aspek penting dalam hubungan menantu dan mertua karena akan menentukan keadaan relasi saat ini dan masa depan. Penelitian Rittenour (2012) mengungkapkan bahwa hasil komunikasi yang suportif antara menantu dan mertua perempuan adalah perasaan puas dan dapat saling berbagi identitasnya di dalam keluarga. Jika komunikasi tidak berjalan positif, dapat berakibat pada ketidakpuasan kehidupan pernikahan.
Tidak hanya Ibu dan mertua saja yang perlu komunikasi, tapi suami juga perlu ikut andil. Pada beberapa momen, hanya suami-lah yang dapat menjadi penengah antara konflik menantu dan mertua perempuan. Dukungan yang ditunjukkan suami pada istri dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah juga berpengaruh signifikan pada kebahagiaan istri terhadap pernikahan (Wu et al., 2010). Oleh sebab itu, Ibu sebaiknya membicarakan hal ini juga dengan suami apabila komunikasi dengan mertua menjadi sulit menemukan titik tengah, agar konflik ini tidak berlangsung lama.
Dalam berbagai hal, komunikasi juga memampukan Ibu untuk mengekspresikan perasaan dengan lebih jelas sehingga kesehatan mental pun terjaga, serta membina kualitas hubungan dengan pasangan. Penelitian menunjukan hubungan dengan mertua yang buruk/rusak/tidak berkualitas, kemungkinan besar dapat membuat Ibu mengalami depresi. Terjalinnya komunikasi dua arah yang baik juga memberikan Ibu kesempatan untuk mengerti dan memahami mertua, lebih dekat secara ikatan emosi. Kualitas suatu hubungan ditentukan dari kualitas komunikasi.
Setiap Ibu tentu menginginkan hubungan dengan mertua yang ideal, dimana bisa saling berbagi kedekatan dan bentuk ekspresi kasih. Mereka yang memiliki relasi yang baik dengan mertua mengakui saling mengasihi dan dapat menunjukan afeksi mereka, bahkan bagi yang memiliki hubungan yang buruk pun menyuarakan harapan mereka dapat saling mengasihi dengan mertuanya.
Hal yang perlu Ibu perhatikan saat sedang berkomunikasi dengan mertua adalah sebagai berikut:
Menetapkan batasan adalah hal krusial dalam hubungan agar tetap sehat. Dengan ini, Ibu dapat menghindari burned out/drained (stress berlebihan) karena memaksa diri melebihi kemampuan sendiri. Di sisi lain, hal ini membantu Ibu jadi lebih efisien dalam membagi waktu. Bagi sebagian Ibu, menetapkan batasan membutuhkan keberanian dan keteguhan hati, karena mungkin memiliki mertua yang sudah lama terlalu ikut andil dalam urusan rumah tangga.
Adanya batasan bukan berarti melarang atau menjauhkan mertua dari kehidupan, tetapi memberikan jarak dan ruang pada mertua yang bisa ditoleransi oleh Ibu. Dari sinilah diperlukan perhatian akan keinginan dan kebutuhan satu sama lain. Tidak dihargai batasan yang dibuat terasa seperti ada “invasi” dalam diri Ibu dan itulah yang membuat timbul perasaan tidak nyaman.
Beberapa contoh di bawah ini sekiranya dapat memberi Ibu tolak ukur dalam membuat batasan, ialah:
Setelah menetapkan batasan yang membuat Ibu nyaman dalam menjalin hubungan dengan mertua, Ibu perlu mengomunikasikan terlebih dahulu dengan pasangan. Ini dilakukan supaya pasangan juga dapat memahami kebutuhan Ibu dan berbagi pandangan terkait batasan yang dibuat. Setelah itu, Ibu dan suami dapat berdiskusi terkait batasan ini dengan mertua dan melakukan perubahan yang cocok bagi kedua pihak. Saat sudah tercapai kesepakatan, berpeganglah pada batasan yang Ibu buat, usahakan tidak melanggarnya kecuali ada hal yang mendesak.
Tetap semangat ya, Ibu! Jangan lupa share artikel ini untuk membantu Ibu lainnya!
Referensi