fbpx

Jalan Kokoh Sang Sulung

Melahirkannya adalah hadiah pertama bagiku. Seorang anak yang kehadirannya dinanti-nanti untuk mewarnai kehidupan keluarga. Penantian terindah sesudah pernikahan adalah menanti amanah dari Allah Swt. Sebagai wanita yang sudah menjadi seorang istri, melahirkan anak adalah asa yang tak terbendung. Saya merasakan ujian awal pernikahan, karena belum ada tanda-tanda hamil sesudah dua bulan pernikahan. Sang suami hanya berkata, “mungkin Allah Swt. belum beri kepercayaan buat kita, dek!”. Saya hanya cemburu kepada sahabat yang menikah dua bulan setelah kami.

Selain alur takdir, kami harus belajar apa penyebab kami belum diberikan keturunan kala itu. Ya Allah, saya baru sadar jika kami berdua mantan penggerak organisasi. Mobilitas organisasi tanpa kenal waktu dan tempat hingga lupa untuk mengontrol kesehatan apatahlagi kesehatan reproduksi. Saya dulunya biasa di organisasi biasa begadang, gemar meminum kopi dan pakaian seadanya tak perlu wangi. Terlebih suami yang lebih kuat begadangnya, penggemar berat kopi dua kali sehari dan pantang tidur sesudah shalat subuh meski kurang tidur di malam hari. Refleksi dari diskusi bersama suami, akhirnya kami memutuskan untuk berikhtiar agar dapat diberikan keturunan. Kami mencari cara tradisional daripada menemui dokter kandungan, karena keadaan ekonomi kami kala itu hanya suami yang bekerja dengan gaji 400 ribu per bulan.

Alhamdulillah, kami mendapat terapi tradisional dari ipar yaitu mengurut kandungan rahim. Adik ipar mengajak kami ke tempatnya di Pare-pare. Dan akhirnya membuahkan hasil pada akhir november 2007. Saya dan suami gembira tak terkira karena dua bulan bagi kami bagai dua tahun untuk menanti tanda-tanda akan kehadiran sang sulung.

Suami yang bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji secukupnya untuk kebutuhan sehari-hari tak membuat saya mengeluh. Saya harus berhemat kala itu. Saya tak pernah menuntut banyak saat sang sulung dalam kandungan. Inilah karunia Allah Swt. diberikan kepada saya, HAMIL TANPA NGIDAM. Terkadang saya tertawa dengan gaya sang suami, apabila saya menulis sepuluh daftar keinginan. Tapi, hanya satu saja yang dipenuhi. Tetap saya syukuri dan sabarkan. Kami sudah terbiasa mengelola mental dari pengalaman berorganisasi kala masih belajar sebagai mahasiswi.

Ahmad Khawarizmi Raisul Amin,  namanya pada awalnya. Saya melahirkannya di sebuah kamar di rumah dinas kami atas bantuan bidan senior istri sahabat kerja sang suami. Lahir pada tanggal 26 bulan Juni tahun 2008 pukul 23.26 Wita. Sang suami menghafal semua tanggal kelahiran anak-anak kami. Untuk pemberian nama, saya serahkan kepada suami karena dia lebih paham maknanya bila nama Islami yang berasal dari bahasa Arab. Nama sang sulung dirubah sebelum aqiqah karena jumlah suku katanya terlalu panjang. Akhirnya namanya dikurangi menjadi Ahmad Khawarizmi.

Namanya sengaja kami sematkan pada sang sulung dengan harapan bisa mengikuti jejak kakeknya yang notabene pada saat beliau masih hidup berprofesi sebagai guru matematika. Tetapi jalannya kami ikuti sesuai batas kemampuannya. Kecenderungan belajar agama lebih tinggi daripada belajar matematika. Kami mengarahkannya sesudah pendidikan di SD untuk masuk pondok pesantren.

Saya selalu mengingat pesan Rasulullah Saw. Tentang tugas orang tua yang teramat mulia:

Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Maka orang tuanya lah yang membuatnya menjadi nashrani, majusi atau Yahudi.”

Wanita sebagai ibu yang menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya, memiliki tugas mulia untuk mengasuh dan mendidik anak-anak pada masa emasnya sejak 0 tahun hingga memasuki usia sekolah. Saat usia sekolah, seorang ibu dibantu oleh sekolah untuk mendidik anak-anaknya. Yang berbeda bagi seorang ibu adalah bagaimana menanamkan tiga aspek yaitu afektif (perasaan), kognitif (pengetahuan) dan psikomotorik (keterampilan). Dengan perasaan positif yang dibangun melahirkan kesadaran untuk mengetahui. Dengan pengetahuan berbuah menjadi amaliyah (perbuatan).

Belajar dari pesan Nabi, sang sulung mengalami proses pendewasaan dini yang saya rasakan. Pendewasaan dini terletak pada kesadarannya untuk memahami keadaan yang dilalui. Sang sulung bagiku adalah cerminan dan tokoh bagi adik-adiknya. Mengarahkannya untuk bisa belajar mendewasakan diri meski belum saatnya kini yang baru berusia 15 tahun tetap dilakukan agar terarah dalam kehidupan masa depannya kelak.

Baca Selengkapnya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Immawati Herli
Lahir di Sinjai, pendidikan S1 dan S2 pada Universitas Muhammadiyah Makassar. Berminat pada kuliner dan fokus studi pada studi gender dan demokrasi.

Halo, !

Categories

More than 3500 female bloggers registered

PT. PEREMPUAN DIGITAL INDONESIA
Cyber 2 Tower 11TH Floor JL HR Rasuna Said Jakarta Selatan

tagcalendar-full
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram