Assalamu’alaykum Diaris.
Nggak terasa ya, Ramadan sudah kita lewati setengahnya. Aku baru sadar sudah setengahnya karena barusan aku dapat informasi di group whatsapp RT mengenai pengumpulan sembako. Tahun ini RT kami dapat bagian mengumpulkan tepung terigu dan mie instan. Lagi-lagi aku salut dengan aktifnya warga di tempat tinggal baruku ini yang selalu dipenuhi kegiatan bermanfaat dalam menjalani hari-hari di bulan suci Ramadan ini.
Seperti yang sudah kuceritakan di diary sebelumnya bahwa warga di sini selalu memiliki agenda di bulan Ramadan, salah satunya adalah kegiatan sosial, seperti Bazar Ramadan dan Santunan Yatim dan Dhuafa yang biasanya dilaksanakan seminggu menjelang hari Raya Idul Fitri. Masuk pertengahan bulan Ramadan setiap warga dianjurkan untuk mengumpulkan pakaian layak pakai dan sembako yang telah ditentukan untuk disalurkan kepada mereka yang lebih membutuhkan. Sembako yang dikumpulkan beda-beda ya setiap keluarga, ditentukan per RT, ada yang mengumpulkan beras, terigu, minyak goreng, gula, dan lain sebagainya.
Sayangnya aku belum bisa mendokumentasikan kegiatan sosial ini secara langsung karena jadwalnya bertepatan dengan jadwal aku mudik lebaran. Kalau bicara kegiatan sosial bulan Ramadan, aku jadi ingat dulu di tempat kerja mengadakan bagi-bagi makanan bukaan kepada para pengendara atau pejalan kaki yang lewat depan kantor menjelang waktu berbuka, kebetulan lokasi kantornya pinggir jalan raya, jadi lebih mudah untuk bagi-bagi makanan bukaan.
Seru emang kegiatan sosial bulan Ramadan macam gini tuh, mengajarkan kita untuk banyak bersyukur dengan berbagi sebagian rezeki yang kita miliki. Mengingatkan kita bahwa dalam setiap harta yang kita miliki, ada haknya orang lain. Aku pernah dengan di salah satu tausyiahnya ustad Adi Hidayat, beliau mengatakan bahwa dalam setiap kebaikan, akan ada keburukan yang menyertai. Maksudnya saat kita hendak berbuat baik, akan ada bisikan setan yang berusaha menggagalkan niat baik itu, makanya jangan heran jika ada keraguan dalam hati, ketakutan akan kekurangan harta saat hendak berbagi, tapi setelah berhasil melawan keraguan itu biasanya akan ada rasa kepuasan tersendiri dalam hati. Itu yang sering aku rasakan.
Namun, entah kenapa aku sulit melawan ragu untuk memberi saat berhadapan dengan pengemis, apalagi sering kudengar bahwa ternyata pengemis tuh ada bandarnya ya, walau mungkin nggak semuanya. Aku juga pernah menyaksikan sendiri waktu aku masih kuliah. Aku sering melihat nenek-nenek tua renta setiap pagi duduk di jembatan dekat kampus dengan mangkok kosong di depannya. Kadang aku memberinya sedikit uang karena kasihan, biasanya kembalian sarapan bubur. Sampai pada suatu pagi, kebetulan hari itu aku ada kuliah pagi, masuk kelas jam 8.