Kata orang, mimpi itu perlu ditulis agar kelak ianya abadi dalam catatan dan ingatan. Saya tidak berpikir ini kalimat serius dari seorang pemimpi anonim yang kalimatnya menjadi kutipan andalan. Terutama disampaikan pada setiap seminar beasiswa di ajang education fair.
Meski tergolong kurang serius, tapi saya juga masuk dalam bagian orang yang menulis impian dalam ‘buku keramat’. Meskipun tidak seserius yang saya lihat di media sosial atau blog curcol para pejuang beasiswa. Bahkan saya baru menyadari tentang catatan itu saat membuka kembali sebuah buku yang saya namai sebagai kitab keramat.
Kitab keramat adalah buku biasa seperti kebanyakan agenda lainnya. Istilah keramat saya lekatkan karena alasan yang sederhana saja, karena ia saya beli di salah satu toko souvernir Xiamen University dan tercetak tulisan salah satu universitas bergengsi di China itu.