Kemarin saya menemani adik yang sedang mengerjakan tugas merangkum dari video Youtube. Waktu melihat tulisannya, saya tanya kenapa awal kalimat setiap paragrafnya nggak ada spasi. Hingga terkesan membuat tulisannya menjadi begitu penuh dan kurang nyaman dibaca.
“Kata ustadzah disuruh persisi kayak gini,” jawabnya yang membuat saya termenung sesaat.
Setelahnya saya memberikan masukan dan sedikit penjelasan. Tapi, ia kekeh dan tetap ingin melanjutkan sesuai yang dikatakan gurunya karena takut dimarahi kalau nggak sesuai.
Saya teringat dengan zaman sekolah di mana semua jawaban dalam ujian harus tertulis sama persis dengan apa yang ada di buku.
Sistem Hafalan Menghambat Berpikir Kreatif dan Kritis
“Di sekolah luar negeri, kita bakalan ditanya mengapa pahlawan ini membuat keputusan ini di perang tersebut. Alasan di baliknya jauh lebih penting untuk diketahui daripada apa yang dilakukan. Kita dilatih berpikir secara mendalam dan mengaitkan apa yg terjadi di masa depan bukan hanya berhenti di masa lalu. Berbeda dengan sekolah di Indonesia yang lebih fokus pada hafalan. Kalau sekolah di luar negeri lebih mengutamakan alasan dibalik suatu hal.” – Andika Sudarman (CEO&Founder Deall Jobs)
Berdasarkan Studi Mathematics and Science Study (TIMSS) tahun 2011, 95% peserta didik sekolah menengah memecahkan persoalan yang bersifat hafalan. Sedangkan 5% sisanya merupakan persoalan yang membutuhkan pemikiran.
Sebuah jurnal hasil penelitian Govan Star Berjamai dan Elisabeth Irma Novianti Davidi, mengungkapkan faktor penghambat berpikir kritis pada sebuah sekolah dasar di NTT adalah:
- Siswa tidak berani menyampaikan argumen dengan alasan takut apa yang disampaikan tidak dapat diterima atau dipahami oleh lawan bicaranya.
- Guru kurang memberi ruang untuk siswa bereksplorasi.
- Penggunaan metode pembelajaran yang monoton dengan metode ceramah membuat siswa cepat bosan.
- Pengelolaan kelas yang kurang baik dan tidak kondusif.
Baca Selengkapnya
Visit Blog