Peristiwa itu terjadi hampir 50 tahun yang lalu. Saya tidak pernah memikirkan atau mengingat peristiwa itu. Namun tanpa saya sadari, ketika akan bertemu dengan Xaman yang sering mem-bully saya dulu, saya menjadi cemas.
Beberapa teman SMP saya berkomentar, sudah hampir 50 tahun kok masih jadi pikiran.
Kalau kata Asep Haerul Gani (Kang Asep), psikolog yang mendalami psikologi pemaafan, peristiwa yang menyakitkan tidak selayaknya dibuang untuk dilupakan. Melupakan sama dengan mengingat, kata Kang Asep dalam buku Forgiveness Therapy. Ketika kita berusaha melupakan, maka kita seperti menyimpan peristiwa itu di dalam memori.
Saya memang tidak dengan sengaja melupakannya. Peristiwa itu terkikis oleh buanyaak pengalaman positif yang saya rasakan dalam perkembangan saya menjadi remaja dan dewasa.
Sekalipun saya tidak menghindarinya, ia menjadi zombie yang bersembunyi di kegelapan. Ketika ada kabar ia akan muncul, saya kaburrrr.
Kun Nasython, seorang sahabat SMP yang membaca cerita bullying itu, mengatakan bahwa saya pendendam. Bisa jadi. Mungkin tepatnya, kalau istilah Kang Asep, saya seperti memegangi celurit yang ditusukkan ke tubuh saya beserta penusuknya. Saya bawa mereka ke mana saya pergi. Bisa jadi tidak ada lagi rasa sakit karena sudah terbiasa. Akan tetapi saat celurit bergerak karena tersenggol, rasa nyeri yang hebat muncul lagi.
Entah itu Zombie (analogi saya) atau celurit (analogi Kang Asep), keduanya terkait emosi negatif. Sampai kapan saya membersamai Si Z atau C itu?
Lebih konyol lagi, gara-gara mereka saya mesti migrasi ke Planet Mars?