Setiap hari ahad pagi setengah siang saat itu selalu jadi hari yang kunantikan di semester akhir perkuliahan yang hanya ada mata kuliah skripsi dan PKL. Aku yang berada di Kota Malang selama ini ternyata tidak sadar, bahwa ada kehidupan yang berdampingan dengan awan yang butuh bantuan. Kehidupan yang berdampingan dengan awan itu ada di desa lereng gunung yang punya pemandangan memanjakan mata tapi tidak dengan kesehariannya.
Di desa tersebut ada masjid dan gereja berdampingan, tapi keduanya sangat sepi. Kalau gereja yang biasannya hari ahad ada pemujaan, tak ada suara gesekan sandal pun yang masuk ke gereja itu. Sedang masjid yang harusnya dipakai sholat ternyata adzan pun tak ada yang mengumandangkan. Sedihku berkecamuk saat aku menemukan tempat seindah itu tapi sedikit semangat beribadahnya mereka.
Dihari sebelum ahad pagi setengah siang yang selalu kunantikan itu, aku bertemu ibu-ibu warga desa itu. “Buk, kalau misalnya saya ngajak temen saya kesini untuk meramaikan masjid dan ngajak anak-anak disini boleh?” ibuk itu tanpa ragu menjawab “silahkan mbak, nanti saya bilangkan ke RT sini.” Sejak itu, hari ahad pagi setengah siangku berubah. Jika biasanya aku hanya tiduran di kamar, mulai hari itu aku berjanji dengan diriku kalau kebaikan berbagi tidak harus mewah dan harus disegerakan, karena berbagi akan membuat hidup kita semakin berarti.
Apalagi di zaman se milenial ini, semua terfasilitasi ketika kita ingin berbagi. Salah satunya kewajiban yang diam-diam dilupakan sebagian orang. Zakat, rukun islam yang mengajarkan kita untuk selalu mengingat ada orang yang butuh bantuan kita. Dengan Dompetdhuafa.org memudahkan kita ketika ingin menyempurnakan rukun islam. Tidak ada alasan bermalas-malasan lagi untuk menunaikan kewajiban di zaman yang seba mudah ini.
Dalam menanggapi musibah saat ini misalnya, aku tak sehebat Dompetdhuafa.org yang bisa menyalurkan bantuan langsung kepada mereka yang membutuhkan. Akupun hanya bisa menebar senyuman kebaikan kepada mereka di sekitar yang butuh asupan energi positif. Di kehidupan yang berdampingan dengan awan itupun, tak hentiku tersenyum dari awal sampai akhir hanya untuk melihat semangat belajar agama mereka.
Tak hentiku berdebar saat aku tanyai mereka “besok kalau ke masjid bawa al-qur’an ya dek” mereka serentak menjawab “gak punya kak, sudah jelek” aku terdiam kaget menatap mereka. Bisa dibayangkan di desa yang berdampingan awan itu tidak mempunyai kitab suci yang layak dan seharusnya di baca setiap hari. Akhirnya, hari itu aku memutuskan bercerita dengan tak henti menebar senyuman kebaikan. Karena anak-anak adalah pemerhati ulung, ketika mereka melihat orang yang lebih dewasa dari mereka tentu saja mereka akan menirunya. Hanya dengan tersenyum menenangkan dan menahan amarah ketika mereka berbuat salah menjadi daya tarik kita untuk mereka supaya kita selalu didengar.
menjadi baik itu mudah dan murah, hanya dengan menebar senyuman kebaikan akan memberikan energi positif yang melihatnya. Berhenti menyikapi sesuatu yang salah dengan amarah, berikanlah senyuman kebaikan sebagai obat penahan marah. Cobalah praktekan saat sedang berkendara dan ada bapak-bapak yang membantu menyebrangkan jalan untukmu lalu tersenyumlah, itu akan melegakan bapak tersebut atau kepada para penjual makanan yang kita temui dijalanan dengan memberikan senyuman dan sapaan yang ramah. Sesederhana itu untuk menebar kebaikan. Tak ada alasan lagi untuk tidak berbagi dengan orang disekitar kita. Semoga dengan tulisan sederhana ini, mengingatkan kita untuk selalu menebarkan energi positif dengan senyuman kebaikan.