Krisis iklim kini menjadi ancaman yang semakin nyata. Perubahan suhu ekstrem tidak hanya berakibat buruk pada kesehatan fisik, juga disinyalir dapat mengganggu kesejahteraan diri dan menyebabkan gangguan mental.
Psychiatry Research yang berbasis di London mengungkapkan, jika anak-anak sejak usia 12 tahun sudah terpapar udara kotor, maka resiko mengalami depresi menjadi 3-4 kali lebih besar ketika mereka mencapai usia 18 tahun. Sebuah studi terpisah yang dilakukan oleh Cincinnati Children’s Hospital Medical Center juga mengemukakan korelasi lonjakan polusi udara akibat kendaraan mampu meningkatkan kecemasan terutama bagi anak-anak.
Sementara itu, survey yang dilakukan oleh tim peneliti dari University of Bath pada 10.000 anak muda berusia 16-25 tahun dari berbagai negara memperlihatkan bahwa lebih dari 50% responden menyatakan bahwa mereka merasa cemas, sedih, tak berdaya, dan bersalah terhadap perubahan iklim. Ini akan memicu gelombang fenomena eco-anxiety.
Menurut American Psychiatric Association (APA), eco-anxiety menggambarkan kecemasan lingkungan, sebagai bentuk ketakutan kronis akan kehancuran lingkungan. Meski belum dikategorikan sebagai gangguan klinis, tapi kecemasan ini berpotensi memicu sensasi fisik dan emosional sebagaimana gangguan kecemasan lainnya.
Dalam beberapa studi disebutkan, cara individu untuk mengatasi ketakutan akan bencana iklim dan masa depan Bumi bisa diatasi dengan mengurangi jejak karbon. Termasuk meningkatkan ekoliterasi dan menerapkan gaya hidup berkelanjutan untuk mendukung kesehatan fisik dan mental serta bermanfaat bagi lingkungan.
Seiring dengan maraknya pemberitaan tentang perubahan iklim, perlahan-lahan orang mulai mengubah kebiasaan hidupnya menjadi lebih berorientasi pada lingkungan. Sebut saja gerakan zero waste, gaya hidup minimalis, dan gaya hidup berkelanjutan yang kini mulai banyak dipraktekkan.
Gaya hidup berkelanjutan atau sustainable lifestyle sendiri merupakan cara hidup berkesadaran dan memiliki pandangan jangka panjang. Sebab, apapun yang kita lakukan saat ini akan berpengaruh pada kondisi lingkungan.
Untuk menerapkannya, terlebih dahulu kita bisa memposisikan diri sebagai bagian dari lingkungan. Kemudian, perkuat dengan menyadari bahwa sumber daya alam itu terbatas dan bisa habis jika terus menerus dieksploitasi. Sehingga kita bisa lebih bijak dalam pemenuhan kebutuhan, bukan sekedar keinginan.
Tidak hanya dalam segi ekologi, menerapkan gaya hidup berkelanjutan ternyata bisa berdampak positif bagi kesehatan mental. Hal ini dikarenakan kita menjadi lebih mindful dalam bertindak dan mengambil keputusan dengan tetap memperhatikan kelestarian alam.
Pada tahun 1984, seorang ahli biologi bernama Edward O.Wilson memperkenalkan konsep biofilia. Beliau mengungkapkan bahwa secara bawaan, manusia punya kecenderungan untuk terhubung dengan alam atau lingkungannya. Tidak mengherankan jika sebagian orang merasa lebih rileks ketika melihat tumbuhan maupun hewan.
Tidak hanya itu, hasil studi yang dipublikasikan di Frontiers in Psychology memperlihatkan bahwa menghabiskan 20 menit di alam dapat menurunkan hormon stress. Bahkan, telah diadopsi menjadi ekoterapi sebagai program mensejahterakan mental dan fisik melalui aktivitas di alam.
Menerapkan gaya hidup berkelanjutan, akan mendorong seseorang untuk memusatkan aktivitasnya demi kelestarian alam dan terlibat untuk aktif menjaganya. Oleh sebab itu, ketika semakin dekat dengan alam, akan semakin besar pula peluang berkurangnya hormon stress.
Menerapkan gaya hidup berkelanjutan menekankan pada kesadaran yang mampu meningkatkan kontrol diri. Seperti tidak mengkonsumsi berlebihan demi menjaga kelestarian lingkungan dari sampah belanjaan.
Kita juga akan merasa terhubung dengan alam dan lingkungan, menyadari bahwa ada yang lebih besar dari diri kita sendiri. Dengan kesadaran tersebut meningkatkan rasa syukur, mengingatkan akan tujuan hidup dan kesejahteraan secara keseluruhan.
Di sisi lain, menerapkan gaya hidup berkelanjutan dapat menjadi cara untuk terhubung dengan orang yang memiliki nilai-nilai yang sama. Hal ini dapat meningkatkan rasa kebersamaan dan dukungan sosial untuk memenuhi kesejahteraan diri.
Tidak bisa dipungkiri bahwa kondisi keuangan seseorang akan berpengaruh pada kesehatan mental. Dengan financial secure, orang tidak mudah mencemaskan akan pemenuhan kebutuhan hidupnya.
Belakangan ini, marak dengan frugal living, sebuah gaya hidup yang mengacu pada prinsip menekan sedikit mungkin pengeluaran. Salah satunya dengan mendorong orang untuk meminimalisir pembelian barang.
Praktek frugal living yang bijak juga akan berdampak positif bagi lingkungan. Bukan sekedar penghematan, tetapi juga mengurangi penggunaan energi dan jumlah limbah industri mulai dari produksi hingga distribusi.
Bahkan, menurut kaporan dari The Wildlife Trusts, memiliki kebun di rumah bisa menghemat pengeluaran untuk pemeliharaan kesehatan. Sementara memberi makan burung, disinyalir dapat mengurangi rasa kesepian dan isolasi sosial.
Permasalahan iklim memaksa setiap orang untuk memperbaiki gaya hidupnya. Bukan lagi tentang kerusakan alam, tapi ada banyak aspek kehidupan yang terdampak baik yang bisa dirasakan secara langsung maupun tidak.
Barangkali belum banyak yang menyadari bahwa krisis iklim juga menyebabkan kesehatan mental terganggu. Untuk itu, perlu kesadaran diri dalam menjalani aktivitas harian dengan lebih memperhatikan lingkungan melalui gaya hidup berkelanjutan.
Referensi: