Bila ada pertanyaan, apakah bentuk teater yang paling tua di Asia Tenggara, maka sangat besar kemungkinan jawabannya adalah wayang. Kesenian tradisional Indonesia satu ini bahkan sudah menjadi warisan budaya dunia tak benda oleh Unesco. Namun demikian, asal usul wayang justru masih dipersoalkan. Alasannya klasik, tidak ada bukti kuat yang mendukung setiap temuan atau teori tertentu terkait wayang.
Kemudian, pertanyaan lainnya adalah apakah wayang tersebut benar berasal atau ciptaan Jawa, mengingat cerita yang dibawa adalah epos terkenal dari India, Mahabrata dan Ramayana. Namun, istilah yang digunakan dalam wayang -seperti ditulis Dr GA A.J Hazeu dalam detertasinya bertjauk Bidjrage tot de Keniis van het Javaanschee Tooneel di Universitas Leiden Belanda tahun 1987- kebanyakan adalah bahasa Jawa.
Beberapa istilah yang dimaksud antara lain kata “wayang” itu sendiri, kemudian istilah lain dalam wayang seperti kelir, blencong, cempala, kepyak, dan lain-lain. Diperkuat lagi dengan salah satu unsur rumah tradisional Jawa ialah memiliki ruangan yang bernama pringgitan. Ringgit (bukan mata uang Malaysia) berarti Wayang dalam bahasa Jawa. Maka ruangan bernama pringgitan tersebut adalah “ruang yang ditujukan untuk pegelaran wayang”.
Namun demikian, pertama ada pertunjukan “teater bayang” yang mirip dengan wayang di sekitaran India Barat, tempat lahirnya epos-epos terkenal yang dimainkan dalam pegelaran wayang. Karena itu, justru wayang yang ada di Jawa adalah tiruan dari “teater bayang” di India Barat. Hal itu diungkapkan oleh Dr W Rassers dalam Over de Oorsprong van het Javaansche Tooneel. Pernyataan Dr W Rassers tersebut juga didukung dengan kebudayaan India yang erat dengan teater, termasuk di antaranya “teater bayang” dianggap lebih dulu dari Asia Tenggara.
Belum cukup dengan persoalan apakah “Wayang berasal dari Jawa, ataukah dari India?” giliran Prof G Schelegel yang menawarkan ide lain. Ia menyebut bahwa wayang tersebut berasal dari Tiongkok. Bukti yang dibawa adalah catatan tentang pertunjukan “Woyong” (dalam Kanton), atau Wo-ying (Mandarin) atau juga dilafalkan dengan Wa-yaah (Hokian), dan ketiga-tiganya sama-sama memiliki arti “teater bayang” sama seperti arti dari kata “Wayang”.
Baca juga: 10 Bentuk Teater Tradisional Indonesia
Catatan pertunjukan tertua menunjukkan bahwa pertunjukan teater bayang ini sudah dipentaskan di tahun 140 SM, tepatnya era kekuasaan Kaizar Wu Ti di tanah Tiongkok. Pernyataan tersebut dipaparkan Prof G Schlegel dalam bukunya berjudul Chineesche Brauche und Spiele in Europa.
Baca juga: Mengenal Teater Tradisional khas Indonesia
Catatan pertunjukan “teater bayang” di Tiongkok jelas dianggap lebih tua dari temuan di Indonesia yang tertua bertarikh 907 M. Sebuah prasasti berbentuk lempengan yang saat ini tersimpan di Royal Tropical Institute, Belanda menunjukkan bahwa di Desa Sangsang ada perayaan ritual untuk dewa dengan bentuk pertunjukan wayang bagi para dewa dengan lakon/lagu Bhimaya Kumara. Bhimaya Khumara diprediksi adalah kisah hidup Bhima, anggota dari Pandawa yang berbadan raksasa.
Maka kemudian dicoba ditarik kembali perjalanan wayang, mengingat wayang akan membawakan cerita asal India (bukan Tiongkok), maka ide bahwa “teater bayang” ini berasal dari India lebih sulit dibantah. Menelusuri jejak wayang di India, justru akan menemukan bahwa daerah sekitaran India, baik itu daerah Kamboja, Thailand hingga Indonesia, atau justru ke arah Timur Tengah, semuanya memiliki “teater bayang”. Malaysia justru mengenal dua jenis wayang, yakni wayang Jawa dan wayang Siam (Thailand). Ditambah lagi, mereka juga menyebut menonton bioskop, sebagai menonton “wayang”.
Dari situ, dugaan bahwa pedagang dari India dan sekitarnya yang beragama Hindu datang ke Nusantara pada sekitar abad ke-4 dan membawakan kisah Mahabrata serta Ramayana. Sedangkan kisah yang lebih berupa adaptasi seperti misalnya Arjunawiwaha tulisan Mpu Kanwa, Bharata Yudha karya Mpu Sedah/Mpu Panuluh, sampai cerita tentang Gatotkaca Sraya karya Mpu Panuluh mulai diterbitkan di abad ke-9 dan dimainkan dalam pegelaran wayang di Indonesia. Cirikhas dari kisah adaptasi tersebut ialah, adanya unsur-unsur kearifan lokal setempat yang berpadu dalam latar tempat di Nusantara, namun latar waktu, beserta tokoh-tokohnya diambil dari kisah Mahabrata (karya Viyasa) dan Ramayana (Valmiki).