“Membuka rumah baca di sini butuh perjuangan ekstra. Minat bacanya rendah.” Begitu kurang lebih bunyi status whatsapp salah satu kenalan saya yang sekarang tinggal di salah satu kabupaten di Kepulauan Riau. Saya pun tergelitik ingin tahu lebih dalam, saya ketik pesan melalui aplikasi pesan tersebut untuk menanyakan kondisi literasi di sana.
“Kalau dari pengamatan saya mbak, buka rumah baca udah lebih dari setengah tahun ini memang rendah minat bacanya. Anak lebih tertarik gadget atau main-main aja gitu,” begitu jawab teman saya yang sering dipanggil Mbak Nana ini.
“Kalau dibuat event baru mereka mau, itu pun mesti dipanggil, dijemput gitu. Nggak ada inisiatif untuk datang sendiri padahal sudah dikasih tahu. Bahkan kadang saya sengaja kasih tahu orang tuanya agar anak-anak ke rumah, ada acara gitu. Tetap aja susah. Orang tuanya pengen anaknya bisa baca tapi minim usaha,” begitu beliau melanjutkan ceritanya.
Apa yang dikeluhkan oleh kenalan saya tersebut bisa jadi adalah cerminan kondisi literasi di negara kita. Minat baca yang rendah ditambah dengan akses terhadap buku yang masih belum merata, membuat tingkat literasi amat kurang.
“Buku adalah jendela dunia”, tentu kita tidak asing dengan ungkapan tersebut. Saya pun sepakat dengan pepatah lama itu. Kita tak perlu berkeliling dunia untuk mengetahui apa isinya, cukup dengan membaca buku. Bahkan, kita bisa mengetahui berapa dalamnya samudera, apa isi perut bumi, dan benda apa saja yang melayang di angkasa hanya dengan membaca buku. Berjuta-juta pengetahuan bisa kita dapatkan melalui buku.
Sayangnya, tidak semua anak mempunyai akses ke jendela dunia. Masih banyak generasi penerus bangsa yang bagai hidup di dalam tempurung. Jangankan untuk membeli buku bacaan berkualitas, pergi ke sekolah saja masih ada yang harus menyeberangi sungai menggunakan alat seadanya, mempertaruhkan nyawa.
Perpustakaan yang menjadi harapan para siswa untuk mengakses buku bacaan pun belum dimaksimalkan eksitensinya. Bahkan, tak semua sekolah dan daerah mempunyai perpustakaan, terutama di daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar).
Rendahnya tingkat literasi anak bangsa tersebut menjadi salah satu penyebab skor PISA Indonesia jauh di bawah rata-rata dan menduduki peringkat 10 terbawah secara global.