Museum Multatuli, Museum Antikolonialisme ditengah kota Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Dari jauh terlihat Gerbang beratap merah bertuliskan Selamat Datang di Rangkasbitung, artinya tujuan perjalanan kami, Museum Multatuli sudah dekat. Rintik-rintik hujan masih bertahan di kota ini, tetapi tidak menyurutkan aktivitas warga setempat. Pengendara beroda dua mapun roda empat masih terlihat berlalu lalang. Tidak butuh waktu lama untuk kami sampai di depan Museum Multatuli.
Masuk kedalam kawasan Museum Multatuli, suara teriakan semangat anak-anak sekolah menyambut para pengunjung museum. Tidak hanya satu-dua remaja, tetapi beberapa kelompok anak sekolah sibuk beraktifitas di dalam kawasan museum ini. Mulai dari berlatih upacara sekolah hingga menari di pendopo. Kawasan dengan luas 1.934 m2 ini memang terdiri dari tiga unit bangunan, yaitu pendopo, bangunan utama sebagai museum, dan bangunan pendukung. Kawasan Museum Multatuli merupakan Kantor Kewedanaan Rangkasbitung pada tahun 1930 dan telah mengalami pergantian fungsi sebelum akhirnya diresmikan menjadi Museum Multatuli pada 11 Februari 2018.
Apa itu Kawedanan. Kawedanan atau “ke-wedana-an” merupakan wilayah administrasi kepemerintahan yang berada di bawah kabupaten dan di atas kecamatan yang berlaku pada masa Hindia Belanda dan beberapa tahun setelah kemerdekaan Indonesia, dipakai di beberapa provinsi, termasuk Jawa Barat.
Didepan pendopo, pemuda PKL (Praktek Kerja Lapangan) dari sebuah SMK menyambut dengan ramah dan menyodorkan tiket yang dapat kita tukar hanya dengan 2000 rupiah saja. Sekilas terlihat seperti tiket biasa hingga saya melirik kalimat “Tugas Manusia adalah menjadi manusia” dengan siluet pop art dari sosok Multatuli atau Eduard Douwes Dekker. Satu kalimat ini, secara mudah menjelaskan sosok Multatuli, menjelaskan bagaimana Museum ini merepresentasikan Multatuli sebagai karakter utama dari museum ini sendiri. Tanpa bekal sejarah yang spesifik terhadap Multatuli, kalimat “Tugas Manusia adalah menjadi manusia” menekankan betapa kuatnya karakter Multatuli terhadap kemanusiaan dan entah bagaimana, kalimat tersebut berhasil mengetuk dan mengingatkan saya sebagai manusia. Hal ini pula yang menjadikan saya memilih kalimat tersebut menjadi judul dari artikel singkat ini.
Kemudian dari kalimat sederhana diselembar tiket tersebut, muncul sebuah pertanyaan awal:
“Apa yang membuat manusia menjadi manusia?”
Melirik pandangan Plato terhadap Human nature atau sifat manusia dimana terdiri oleh tiga unsur: appetite (well-being) atau nafsu, spirit (speech), dan intellect (immortal soul). Ketiga unsur atau cara hidup ini kemudian menciptakan kelas masyarakat (The Rulers, Auxiliaries, dan Working class) dan setiap kelas membentuk siapa diri kita. Secara singkat, ketiga cara hidup tersebut memainkan peran yang sangat besar dalam sifat manusia karena membentuk siapa kita sebagai manusia.
Pandangan Plato ini menarik saya untuk mencoba memahami bagaimana peran Multatuli atau nama asli beliau Douwes Dekker yang pada era pergerakan nasional, sebagai seorang keturunan Indo, menjadikan identitas yang dimilikinya justru untuk memberikan perlawanan terhadap kolonialisme Hindia Belanda. Multatuli kali pertama tiba di Rangkasbitung pada 21 Januari 1856 sebagai asisten Residen Lebak. Kota Rangkasbitung menjadi tempat Douwes Dekker menyalurkan pemahamannya dalam buku Max Havelaar menggunakan nama pena Multatuli, yang berasal dari bahasa Latin “sudah banyak yang aku derita”. Max Havelaar sendiri merupakan pengalaman Douwes Dekker melihat adanya ketidakadilan dan pemerasan kepada masyarakat bumiputra oleh sistem kolonialisme. Sehingga tepat, Museum Multatuli menjadi museum antikolonialisme yang menampilkan sejarah bagaimana kolonialisme bekerja dan bagaimana pula sistem itu diruntuhkan oleh gerakan nasionalisme.
Menelusuri area didalam museum, kita tidak hanya menemukan topik antikolonialisme dan sosok Multatuli melainkan juga kronologi sejarah Lebak, dimana terdapat salinan surat pembentukan tiga kabupaten awal di Banten, yakni Serang, Caringin, dan Lebak. Di akhir, kita akan disuguhkan patung instalasi Multatuli yang tengah membaca, karya Dolorosa Sinaga yang merupakan seorang pematung, feminis dan aktivis hak asasi manusia Indonesia. Sebelumnya beliau menjabat sebagai Dekan Fakultas Seni Rupa Institut Kesenian Jakarta dan pendiri Sanggar Seni Somalaing yang dioperasikannya di Jakarta sejak tahun 1987.
Multatuli dengan kepeduliannya terhadap kemanusian, telah menjadi bagian dari sejarah Lebak. Namanya di abadikan menjadi Jalan Multatuli sejak tahun 1970-an, SD Multatuli, Radio Multatuli FM dan saat ini, Museum Multatuli. Meskipun memiliki identitas seorang keturunan Indo, Multatuli telah memilih untuk memberikan perlawanan terhadap kolonialisme Hindia Belanda. Masih terkait dengan apa yang membuat kita menjadi seorang manusia, mengutip salah satu kutipan oleh Henri Nouwen seorang pendeta, profesor, penulis, dan teolog Katolik Belanda: