Halo, gais. Sudah agak lama sejak terakhir kali aku menulis di blog ini. Oleh karena hari ini kerjaanku cuma nempel di kasur, aku akan melakukan sedikit CSR (CSR nggak tuh) dengan berbagi cerita. Kali ini, ceritanya adalah tentang pengalamanku memulai karier sebagai seorang penulis konten, atau biar kedengeran gen Z abiez, kita sebut content writer.
Buatku, jadi content writer sebelumnya terasa ribet dan ngebingungin, karena sebelum ngirim artikel ke media aja udah bingung mau nulis apa. Dulu, aku juga (masih) berpikir kalau aku punya bakat nulis fiksi daripada nonfiksi. Ternyata, tulisan fiksiku selalu mentok di bagian ide dan pengembangan cerita. Nggak pernah selesai, xixi.
Touchpoint aku sama dunia perartikelan sebenarnya udah dimulai sejak kelas 8 SMP. Alkisah di masa jahiliyah tersebut salah satu hobiku adalah baca-baca artikel di sebuah media online yang namanya Hipwee. Hampir setiap hari aku ngecek situs itu buat baca artikel terbarunya. Akhirnya, kebiasaan itu bikin aku kenal juga sama media-media lain yang waktu itu sama-sama lagi emerging, seperti Pulsk (kayanya sekarang udah nggak ada), Kawanku (sekarang kalo nggak salah jadi Cewekbanget.id), dan sebagainya.
Meskipun banyak orang menilai kalau artikel semacam itu template banget dan ngebosenin, atau bahkan nggak menarik buat dibaca, buat anak baru puber seperti aku di masa SMP, banyak banget hal keren yang aku dapet dari artikel-artikel ringan yang kelar dibaca sambil antri gorengan di kantin. Darisitu kayaknya mulai muncul pemahaman kalau adanya artikel online, dan tentu aja orang yang bikin di belakangnya, adalah hal yang memang diperlukan buat sebagian orang.
Long story short, di akhir bulan Januari kemarin ketika aku baru masuk semester dua perkuliahan, aku ngeliat info magang di sebuah akun Instagram. Berhubung waktu itu nggak banyak tanggungjawab yang harus aku handle, langsung aja deh aku apply dengan bikin CV dan segala macemnya. Untungnya, media tersebut nggak minta kandidatnya buat bikin portofolio. Sebagai gantinya aku harus bikin dua artikel dan contoh editorial plan.
Akhirnya, setelah lolos tahap pertama, aku dapat undangan interview untuk kemudian dinyatakan lolos dan langsung on boarding di hari Senin. Inilah sebuah turning point yang akan mengawali perjalananku jadi content writer pemula selama bulan-bulan berikutnya. Yippie.
Jadi, di media tersebut aku harus bikin sepuluh artikel setiap minggu (5 hari kerja). Setiap minggunya juga kita akan dikasih dua kanal yang akan jadi topik tulisan tersebut, misalnya tentang kesehatan, teknologi, lingkungan, hingga tren terkini. Di hari Jum’at, akan ada meeting buat seluruh tim (kan ada intern di bagian lain juga, kayak anak sosmed dan PR) sekaligus meeting khusus content writer. Di meeting menjelang weekend tersebut, aku dan temen-temen penulis lain mempresentasikan ide-ide judul artikel kita selama seminggu berikutnya. Nanti akan ada editor dan manajer kita yang akan ngebantu brainstorming kalau ada ide yang dirasa kurang cocok sama apa yang lagi pembaca butuhkan.
Buatku, pengalaman magang yang pertama ini bener-bener membuka mataku tentang gemerlapnya dunia kepenulisan konten di media online Indonesia. Soalnya nggak cuma kerja, kadang perusahaan juga ngundang kita untuk ikut pelatihan dan webinar soal hal tersebut. Editor aku juga sering ngasih aku koreksi tentang gimana sih harusnya artikel yang bener itu. Pas awal-awal (dan mungkin sekarang masih suka kebawa), aku punya masalah di ‘kalimat gendut’, atau kalimat yang terlalu panjang. Terusssss, aku juga diajarin tuh gimana caranya biar artikelku lolos moderasi SEO dengan nggak lupa menentukan keyword dan bikin judul atraktif.
Akhirnya, setelah tiga bulan magang, aku menghasilkan kurang lebih 100 artikel di sepuluh kanal berbeda. Meski aku merasa paling tertantang dan seneng nulis artikel tren, ternyata artikelku yang paling banyak dibaca ada di kanal teknologi dan food and travel.
Beberapa bulan setelah lulus magang pertama, aku yang jobless mulai kembali ke hobi lama, yaitu baca-baca artikel di berbagai media. Ada satu media yang bener-bener menarik semua atensiku: Mojok. Ni media satu ini biasa aku buka kalau lagi stres, karena beneran bisa bikin ketawa dan kagum sama tema-tema tulisan yang nyeleneh.
Lama-lama, aku ikutan tertarik buat jadi kontributor di situs tersebut. Namun, ternyata udah jadi rahasia umum di kalangan para pembaca sekaligus penulis konten, kalau masukin artikel ke Mojok itu susahnya ngalah-ngalahin soal UTBK. Alias emang sesusah itu.
Tapi tenang~ Mojok masih punya versi lebih ramah yaitu Terminal Mojok yang berbasis UGC atau user generated content, dimana topik yang masuk lebih receh dan lebih berpotensi lolos moderasi.
Tapi apakah njuk semudah itu? Tentu tidak, adik Kak Jill. Dari belasan artikel yang aku kirim (atau mungkin udah 20an karena udah lost count banget), cuma 7 dong yang berhasil terbit. Wkwkwk. (Tertawa dengan tau diri).
Oh yaa, selain Mojok aku juga pernah nyoba masukin artikel di IDN Times Community. Sistemnya hampir sama sih kayak di Terminal Mojok, bedanya cuma kita harus nyari gambar buat artikelnya dan potensi diterimanya lebih tinggi karena kanalnya banyak dan beragam. Di IDN fokusku adalah menghasilkan artikel berbau Korea-Korea, karena pasarnya emang gede banget, chinguyaa.
Lanjut lagi. Selama masa jadi penulis lepas tersebut, aku nyoba-nyoba nih buat daftar magang lagi. Tapi emang karena dasarnya nggak terlalu niat, jadi ketolak beberapa kali. Sampai akhirnya aku mengumpulkan niat dan meng-update CV dan portofolioku dengan sungguh-sungguh. Pas banget waktu itu ada media yang buka program magang buat posisi writer, sosmed, dan graphic designer.
Aku langsung nyiapin porto dan CV untuk daftar program tersebut. Oleh karena udah sering banget ketolak, aku nggak nunggu-nunggu banget info selanjutnya dari media tersebut. Eeh, alhamdulillah beberapa minggu kemudian dapet undangan interview dan setelah interview langsung tandatangan kontrak.
Di tempat magangku yang baru ini, aku menemui tantangan yang juga baru, gais. Soalnya, topik yang harus aku cover mengerucut ke topik pemberdayaan perempuan, jadi aku harus lebih banyak tahu tentang hal-hal yang sebelumnya aku nggak tahu, hehe. Terlebih soal istilah-istilah dalam dunia per-skincarean, bisnis, dan mode.
Kabar baiknya, aku pribadi jadi tertarik buat semakin merawat diri :’). Meskipun jatuhnya gajinya jadi agak berkurang buat benda-benda di keranjang orenku itu, tapi gapapalah ya sekali-kali *pasanghashtagselflove*.
Selain itu, aku juga ketemu editor super baik lagi. Beliau ini sangat sabar kalau aku banyak nanya soal masalah artikel, karena ada beberapa jenis artikel yang juga belum pernah aku kerjain sebelumnya. Misalnya press release untuk suatu produk, zine, dan photo article. Kakak editorku yang satu ini juga sangat mengerti kalau kadang jadwalku bentrok sama kuliah atau kerjaan lain dan bikin aku rada slow response. Huhu, jadi terharu /peluk/. Ia juga pernah menawarkan aku proyek artikel punya dia untuk aku kerjain. Meskipun takut karena pasar artikel tersebut adalah orang-orang dewasa di rentang 20-40 tahun dan aku merasa belum kapabel untuk nulisnya, akhirnya aku ambil juga karena didorong oleh beliau.
Sebagai konklusi, aku pengen bilang kalau menjadi content writer adalah hal yang paling aku syukuri saat ini. Meskipun kadang pengen nangis pas lagi jenuh dan harus begadang-begadang sambil denger lagu galau, tapi aku bersyukur banget bisa ngerjain hal yang aku suka. Aku pribadi ngerasa belum proper dan masih harus banyak belajar dan nemuin topik yang paling aku suka, tapi rasanya emang penulis tuh selamanya akan jadi pembelajar yang harus jujur dan berani merangkai kata di depan kertas. Kadang, kalau topiknya beneran nggak aku tahu, aku akan nunda berhari-hari untuk nulis karena takut salah. Padahal, apa-apa itu emang harus berani dicoba dulu, dari kata per kata, nanti akhirnya jadi juga.
Sooo, buat siapapun yang baca, semoga kita makin berani yaa buat mengeksekusi apa yang kita suka atau apa yang udah kita mulai. Aku banyak banget dapet pencerahan soal hal ini dari Mark Manson di buku Seni untuk Jadi Bodo Amatnya itu. Dia pernah mention soal empat fase kehidupan yang bisa kalian baca versi asli dan ringkasnya disini. Ternyata, akan jauh lebih baik kalau kita nentuin satu hal yang beneran kita suka dan invest waktu, tenaga, dan pikiran kita di hal tersebut supaya hasilnya maksimal dan kita bisa mencapai fase hidup keempat: leaving legacy, atau meninggalkan “jejak” aka “warisan” yang insha allah bermanfaat untuk diri sendiri dan banyak orang.
Sekiaaaan celoteh hari ini. Have a nice day, lov!