Manusia diciptakan sudah berbeda dari sononya. Mulai dari budaya, suku, warna kulit, hingga agama yang kita anut. Tapi, sayangnya, semakin ke sini, beda dikit aja bentrok. Bahkan, sereceh makan bubur ayam diaduk atau nggak, bisa berujung debat nggak penting. Iya, buat yang pikirannya cupet, susah menerima perbedaan, seremeh apa pun. Hoho …
Nah, di Novel Kambing Dan Hujan kita diajak menengok betapa nggak asyiknya punya pikiran cupet alias sempit. Perbedaan cara pandang dalam beragama dan menjalankan ibadah nyatanya sanggup memisahkan dua sahabat karib, Fauzan dan Iskandar selama berpuluh-puluh tahun
Suatu hari, saya kebingungan harus baca apa. Rupanya, sebuah buku itu ibarat jodoh.Bacalah diwaktu yang tepat. Kalau maksa endingnya nggak baik. Rugi waktu tapi nggak paham satu pun apa yang telah kamu baca. Nah, begitulah hubungan yang tercipta antara saya dan novel Kambing Dan Hujan. Novel ini berhasil bikin mata saya terjaga hingga larut dan betah berlama-lama memandangi layar hape.
Sebenernya, tema yang diangkat dalam novel Kambing Dan Hujan termasuk serius. Tapi, kerennya, Mahfud Ikhwan sang penulis berhasil menyajikan tulisan yang ringan dan mudah dicerna. Berlatar kehidupan di dusun Centong, Tegal. Perbedaan menciptakan dua kubu , masjid Utara diwakili oleh Islam Modern, kaum pembaharu, yang ingin memperbaiki ketimpangan sesegera mungkin. Situasi ini memunculkan konflik dengan kubu masjid selatan dengan Islam tradisional. Yang merasa tidak nyaman dengan kehadiran Islam Modern.
Quote Favoritku
Kalau maksudnya baik, tapi dilakukan dengan cara yang kurang baik, ujungnya akan tidak baik. Menyajikan kopi kepada tamu itu baik, tapi tentu saja jangan kamu menghidangkan dengan membentak. Apalagi dengan menyiramkannya ke muka. Itu cari musuh namanya.