Judul: Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982
Judul asli: 82년생 김지영 (Nyeonsaeng Gim Jiyeong)
Penulis: Cho Nam-joo
Penerjemah: Lingliana
Desain sampul dan ilustrator: Bella Ansori
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
Cetakan: 1, 2019
ISBN: 9786020636191
Tebal: 192 hlm.
Rating:
“Tapi alasan aku bekerja bukan karena kau memintaku bekerja. Aku bekerja karena aku suka bekerja. Aku menyukai pekerjaanku dan uang yang kudapatkan.”
Kim Ji-yeong adalah seorang ibu rumah tangga Korea dengan kegiatan dan kewajiban ibu rumah tangga Korea pada umumnya. Novel dibuka dengan adegan Kim Ji-yeong yang tiba-tiba mengalami mental breakdown di tengah silaturahmi hari raya ke rumah mertuanya. Ji-yeong mendadak berbicara seolah ia perempuan lain di masa lalu, berkata-kata dengan berani kepada mertuanya bahwa ia sesungguhnya lelah harus menyiapkan ini-itu tanpa memperoleh terima kasih yang selayaknya. Perilaku yang mengejutkan, kasar, dan tak terbayangkan menurut standar sosial Korea pada waktu itu. Suami Ji-yeong yang kaget dan malu buru-buru membawa pulang Ji-yeong untuk bertemu psikiater.
Dari sinilah pembaca disuguhkan dengan riwayat hidup Ji-yeong, salah satu dari sekian banyak perempuan Korea yang tumbuh besar terhimpit budaya patriarki ekstrem. Mereka terkondisikan untuk menerima hal tersebut sebagai sesuatu yang sudah semestinya.
Jika ditinjau sekilas, patriarki di Korea tampak tidak “seberat” di beberapa negara Timur Tengah. Para perempuan Korea masih bisa bersekolah tinggi dan bekerja. Namun, diskriminasi terlihat dalam bentuk, misalnya, perusahaan lebih memilih karyawan laki-laki. Mereka dianggap sebagai investasi jangka panjang yang lebih baik karena tidak perlu cuti melahirkan dan biasanya tidak akan berhenti dengan alasan keluarga. Masalahnya, bahkan para suami yang mengizinkan istri mereka bekerja, pada saat dihadapkan dengan keharusan salah satunya untuk fokus mengurus anak, mereka tidak akan mengajukan diri. Sang istrilah yang otomatis mengajukan dirinya, tanpa banyak pertimbangan dan kesulitan (atau seolah demikian).
Tapi tidak dengan Ji-yeong. Ia seorang pemikir alami yang kritis. Tetapi ia mesti menyimpan semuanya sendiri selama lebih dari 30 tahun: segala kekecewaan, ketakutan, dan ketidakpercayaan. Ia tidak puas dengan dunianya, namun ia toh memiliki semua yang ia butuhkan, bahkan sedikit lebih, orang-orang baik padanya, bagaimana mungkin ia melawan? Bukankah jauh lebih mudah (dan lebih bahagia) untuk ikut arus?
“Aku yang mengusulkan kita membuka restoran bubur. Aku juga yang membeli apartemen ini. Selama ini anak-anak yang mengurus diri mereka sendiri. Hidupmu memang sukses, tetapi bukan atas usahamu sendiri, jadi bersikaplah yang baik padaku dan anak-anak.”
Kim Ji-yeong, Lahir Tahun 1982 merupakan novel pendek yang unik. Penulis, seorang lulusan Sosiologi, menyelipkan fakta dan data di tengah narasi fiksinya. Hal ini menguatkan cerita sebagai sekelumit kisah yang nyata dan sangat mungkin. Tokoh Kim Ji-yeong tak ubahnya satu orang di dalam statistik negara, dan memang demikian adanya: ia, seorang perempuan rata-rata, tak banyak berarti di dalam dunianya sendiri.
Narasinya linear dan mudah diikuti. Diksinya membumi. Pembaca Indonesia pasti tidak kesulitan untuk berempati dengan Kim Ji-yeong, sebab banyak permasalahan di sana jelas ada di negeri ini: perempuan korban kekerasan seksual menjadi pihak yang disalahkan, perempuan berpendidikan tinggi dibanggakan sekaligus direndahkan karena dianggap mengintimidasi laki-laki, anak laki-laki diistimewakan sekalipun bukan anak pertama, kelahiran anak perempuan dijawab dengan penghiburan “Tidak apa-apa”, dan sebagainya.
Buku ini konon mencetus gerakan feminisme di negara asalnya. Ini berarti Kim Ji-yeong mampu menyentil suatu senar tersembunyi yang ada di hati semua orang dan menggemakan suaranya keras-keras. Terlepas dari setuju atau tidaknya kita dengan feminisme, novel ini termasuk berhasil sebagai sebuah karya sastra. Dan ini semakin meyakinkan aku bahwa tulisan yang baik memang tidak harus panjang-panjang, ya kan?
Oya, menurutku, membaca Kim Ji-yeong tidak selalu mesti dihubung-hubungkan dengan feminisme. Novel ini bisa dibaca apa adanya sebagai protes terhadap ketidakadilan secara umum. Atau, bisa juga sebagai salah satu referensi budaya dan sejarah Korea Selatan. Atau, sebagai fiksi psikologi yang menggambarkan relasi antar-generasi yang dipengaruhi nilai-nilai masyarakat sekitarnya. Ada banyak lapisan di dalam Kim Ji-yeong, yang membuatnya kian berharga dan nikmat dibaca.
“Kim Ji-yeong ingin berkata bahwa ia sangat sehat, tidak butuh vitamin apapun, dan ia ingin membahas rencana keluarganya dengan suaminya sendiri, bukan dengan kerabat-kerabat yang baru pertama kali ditemuinya. Namun, yang bisa dikatakannya hanya, ‘Tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.’”