fbpx

[review] My Brilliant Friend (Sahabatku yang Brilian)

27 April, 2023

Judul: Sahabatku yang Brilian

Judul asli: L’amica geniale

Penulis: Elena Ferrante

Penerjemah: Maria Lubis

Desain sampul: Martin Dima

Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

Cetakan: 2, Februari 2022

ISBN: 9786020659695

Tebal: 408 hlm.

Rating: 🌕🌕🌕🌕🌑

“Naik atau turun, sepertinya kami selalu menuju sesuatu yang menyeramkan, yang ada sebelum kehadiran kami, tetapi selalu menunggu kami, hanya kami.”

Elena Greco dan Raffaella (Lila) Cerullo adalah dua anak perempuan yang tinggal di pemukiman miskin di Napoli. Mereka bersahabat, ya, dan diam-diam saling mengagumi, namun kekaguman rahasia ini terwujud dalam ambisi untuk saling mengalahkan. Hubungan mereka dimulai pada saat Lila mengajak Elena pergi ke apartemen Don Achille, seorang pria misterius yang reputasinya setengah fakta setengah fiksi, untuk mencari boneka-boneka mereka yang hilang.

Lila merupakan antitesis dari Elena: Lila berapi-api, imajinasinya liar, cita-citanya luas, pandai hanya dengan membaca buku perpustakaan, dan kecantikannya menantang; sementara Elena lebih pendiam, berhati-hati, bintang kelas yang lurus, dengan paras yang cantik dan baju-baju yang lebih bagus, namun cahayanya tak sebenderang sahabatnya.

Mereka, bersama-sama dengan anak laki-laki dan perempuan lainnya di lingkungan itu, harus mengarungi hidup yang keras, dinamika keluarga yang penuh goncangan, dan masyarakat yang penuh kemarahan, perseteruan, dan kematian—situasi muram yang mewarnai Italia tahun 1950-an. Elena dan Lila pun mencari caranya masing-masing untuk keluar dari pusaran takdir yang seolah sudah menentukan garis masa depan mereka tanpa ampun.

“Kami tinggal di dunia tempat anak-anak dan orang dewasa sering terluka, darah membanjir dari luka-luka itu, luka-luka itu terinfeksi, dan kadang-kadang mereka meninggal.”

Sebelum membaca buku ini, aku sama sekali tidak mengenal Elena Ferrante. Aku hanya tertarik oleh sampulnya yang seperti gambaran tangan dengan pensil warna, lalu menemukan di Goodreads bahwa rating buku ini nyaris 5/5.

My Brilliant Friend adalah kisah yang hampir seutuhnya character-driven. Tidak ada plot dalam arti struktur klimaks-antiklimaks yang standar. Jadi, membacanya kudu sabar. Daya pikat buku ini bagiku adalah penggambaran dunia psikologis tokoh-tokohnya yang mendalam dan hubungan antarmanusianya yang kompleks (kalau tidak mau dibilang rumit). Buat teman-teman pembaca yang mencari action, barangkali akan kecewa.

Jika dikupas lebih dalam, serial Neapolitan Novels ini (My Brilliant Friend merupakan buku pertama) sesungguhnya menyajikan kehidupan kampung di dalam cengkeraman mafia. Kita akan mendengar ada nama mafia disebut-sebut, dan bagaimana keluarga kaya tertentu—yang tampaknya menjalankan bisnis halal dan biasa saja seperti keluarga lainnya—ternyata memiliki hubungan dengan mafia di belakang. Dan selayaknya kehidupan nyata, kita tidak pernah tahu mana yang rumor dan mana yang betulan. Lagipula, apakah warga kampung itu peduli? Ya, mereka agak peduli, tapi bisa apa? Gosip tentang mafia dianggap sebagai bumbu keseharian saja, sementara mereka semua hidup di dalam ilusi bahwa mereka sepenuhnya mengendalikan takdir mereka.

“Begitulah hidup, memang begitu, kami tumbuh dengan tugas membuatnya sulit bagi orang lain, sebelum mereka membuatnya sulit bagi kami.”

Ini adalah Ferrante-ku yang pertama sekaligus sastra Italia-ku yang pertama. Banyak penyesuaian yang membuatku mesti bersabar di awal-awal cerita. Apakah buku ini sukses menarikku ke dalam Ferrante Fever? Yah, aku sih tidak merasakan fever apa-apa. Tidak segitunya, walau buku ini ternyata meninggalkan kesan yang mendalam. Yang mana aneh juga, karena itu tadi, tidak ada plot yang wah.

Seorang reviewer di Goodreads mengatakan narasi My Brilliant Friend bersifat hiperrealistis. Aku sepakat. Dalam seni visual, hiperrealisme merujuk kepada gaya lukisan dan ukiran yang menyerupai sebuah foto resolusi tinggi. Seni hiperrealis fokus pada detail objek, sedemikian rupa hingga menambahkan detail-detail yang amat terperinci yang bahkan tidak kita alami lewat pancaindra yang biasa. Contohnya, lukisan La hora del te karya Magda Torres Gurza di bawah ini.

Baca Selengkapnya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Oldest
Newest Most Voted
Inline Feedbacks
View all comments
Anna Elissa
Penulis. Psikiater. Penikmat buku.

Halo, !

Categories

More than 3500 female bloggers registered

PT. PEREMPUAN DIGITAL INDONESIA
Cyber 2 Tower 11TH Floor JL HR Rasuna Said Jakarta Selatan

calendar-full
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram