Membaca, adalah salah satu dari “perangkat” kebahasaan yang dimiliki manusia. Maka, sangat lucu mendengar istilah “minat baca”. Sama seperti makan, tentunya tidak ada yang tidak berminat makan, juga berminat makan. Karena makan adalah kebutuhan primer manusia.
Berbahasa itu juga kebutuhan primer manusia, termasuk di antaranya membaca. Ketika ingin makan mie, maka seseorang akan membaca terlebih dulu tulisan di bungkusnya, bukan asal ambil mie yang mana saja.
Intinya, membaca itu sebagaimana mendengarkan, berbicara dan menulis. Semuanya merupakan hal-hal dasar yang dibutuhkan manusia. Ketika semuanya membicarakan tentang “rendahnya minat baca” maka yang dimaksud bukanlah “membaca” sebagaimana yang kita sering dengar. Tetapi, lebih masuk dalam kategori membaca komprehensif.
Ada tujuan tertentu yang ingin atau harus dicapai dengan membaca. Sebagaimana ada pula yang ingin dicapai dengan mendengarkan. Salah kaprah tentang peningkatan literasi dimulai dengan “membudayakan membaca” tanpa ada goals akhir dari membaca itu.
Maka seharusnya peningkatan literasi yang digemakan sekaligus digembar-gemborkan itu bentuknya mesti peningkatan kualitas bacaan serta kualitas proses membaca. Bukan kuantitas membaca dengan berlomba-lomba menamatkan satu buku per hari. Apalagi, tentang kebut-kebutan membaca, alias melatih kecepatan baca.
Orang yang bisa membaca cepat kemudian bisa menyelesaikan tiga atau empat buku lebih cepat dari orang lain, tentu akan tampak mengagumkan bukan? Tapi masalahnya, seberapa tingkat pemahamannya terhadap bacaannya?
Literasi berarti juga pemahaman. Rendahnya literasi, bukan berarti rendahnya minat baca, atau malah minat menulis. Rendahnya literasi berarti rendahnya tingkat pemahaman terhadap bacaan.
Kalau bicara tentang membaca, toh semua orang membaca dalam satu harinya. Entah itu status media sosial, entah itu tulisan di atas bak sampah atau tulisan di pesan yang masuk ke smartphone-nya. Bisa jadi ada status yang banyak muatan ilmu pengetahuannya, bisa jadi juga ilmu pengetahuan itu datang lewat pesan WA.
Maka literasi berarti pemahaman dan pemahaman yang dimaksudkan adalah seberapa mampu seseorang menggali informasi, menganalisis, menafsir dan sebagainya sebuah teks atau bacaan. Berarti, ada kegiatan diskusi, tanya jawab dan sebagainya setelah menyelesaikan satu bacaan. Itu tepat untuk peningkatan literasi.
Bahkan di bacaan yang sangat ringan sekalipun, sebenarnya ada pengetahuan di dalamnya. Itu akan didapatkan ketika pemahaman seseorang sudah cukup baik untuk mengarahkan semua potensi, skill, kemampuan berpikir kognitif, analisis dan sebagainya dalam hal yang membaca.
Sekarang, coba kita lihat kenyataannya. Untuk meningkatkan literasi itu, apa saja yang dilakukan oleh pemerintah, sekolah, institusi dan stakeholder terkait? Mendatangkan lebih banyak buku, menerbitkan lebih banyak buku dan meminta siswa untuk lebih banyak membaca buku. Di sekolah dasar, ada kegiatan yang disebut “literasi” yakni meminta (baca: memaksa) anak atau siswa untuk membaca buku apapun di perpustakaan, 30 menit sebelum kegiatan mengajar dimulai.
Setelah itu, apa yang dilakukan atau didiskusikan pasca membaca? Tidak ada!
Tidak ada pertanyaan tentang apa yang dibaca, kenapa membaca itu, apa yang kau dapatkan dengan membaca itu, apa saja yang coba disampaikan penulis lewat buku itu, kenapa dia memilih pandangan seperti itu, lingkungan sosial apa yang ia respon dengan karyanya, apa masalah yang paling mengganggu penulis sehingga ia menulis karyanya, dan seterusnya. Tidak ada pembahasan itu, sedikitpun.
Dan keesokan harinya, hal yang sama dilakukan lagi. Diulangi lagi. Sampai kegiatan membaca itu dianggap melelahkan oleh para siswa. Sampai kegiatan itu tidak ubahnya seperti kegiatan lainnya di sekolah, yang tak diketahui apa esensi sebenarnya oleh orang-orang yang melakukannya.
Membaca berarti aktivitas menggali, merenungkan, menganalisis, menerjemahkan dan memaknai sebuah tulisan. Tanpa ada sesuatu yang masuk ke kepala seorang pembaca, maka proses membaca itu menjadi hal yang sia-sia.
Ada sebuah puisi yang sangat indah, dan seorang mencoba membacanya. Tapi, ia menyerah karena tak mengerti apa yang dibacanya. Apakah puisi itu akan menjadi indah baginya?
Tujuan akhirnya adalah, bagaimana seseorang mampu mengaplikasikan, mengimplementasikan, melakukan, dan mewujudkan apa yang ia baca (nilai-nilai yang didapatkannya dari bacaan) dalam kehidupannya sehari-hari. Sebenarnya, itu adalah tujuan literasi. Dan bukan masalah berapa buku yang harus dibaca dalam sehari yang menjadi tujuan literasi!
Ditunjang lagi, budaya membaca memang bukan budaya kita. Budaya kita adalah budaya lisan (selengkapnya di artikelĀ Simulakrum Literasi: Imitasi untuk Manipulasi). Saat kita sedang mencoba menggeser paradigma lisan ke tulisan, sebagaimana yang dilakukan oleh akademisi barat di zaman dulu, kita tiba-tiba sudah ikut-ikutan saja dengan “literasi 4.0” alias literasi digital. Ada sesuatu yang kita lompati dalam prosesnya, yang akhirnya membuat kegiatan bertajuk “peningkatan literasi” ini memang terkesan pepesan kosong.
Jadi, sebenarnya yang paling baik adalah bukan memaksa anak-anak untuk lomba kebut-kebutan membaca. Bukan pula menumpukkan buku-buku baru di perpustakaan sekolah. Juga bukan perkara seberapa banyak buku yang kau punya dan kau baca. Tapi lebih dari itu, yakni seberapa paham kita terhadap buku yang kita baca.
Seseorang yang cuma baca 1 atau 2 buku di dalam, namun memahami, mengerti dan mampu mengaplikasikan apa pengetahuan yang ia dapatkan dari bacaan, tentunya lebih baik dari seorang yang membaca 30 buku sebulan tapi tak ada sesuatu apapun yang ia dapatkan dari bacaannya.