Kalau bicara tentang “film paling seram sepanjang masa,” pasti yang ada di benak masing-masing orang akan berbeda. Mungkin menurut gue, “Get Out” itu lebih seram, menurut lo yang paling seram itu film horor macem “Triangle”.
Nggak semua orang bakal takut dengan hal yang sama, jadi genre horor punya kesempatan buat berkembang.
Tapi kali ini, kalo kita bahas tentang “film paling seram sepanjang masa,” mungkin Skinamarink akan jadi salah satu film horor yang ada di benak kita. Why? How?
Film ini, meskipun alurnya lambat, tapi esensi ceritanya jahat banget dan bisa menginvasi jiwa lo dengan cara yang nggak bisa dilakuin sama film horor lain.
Skinamarink mengisahkan tentang Kevin (Lucas Paul) dan Kaylee (Dali Rose Tetreault), dua anak balita yang terbangun di tengah malam dan menyadari bahwa orang tua mereka gak ada di rumah. Belum sempat mencerna kepergian orang tuanya tersebut, pintu dan jendela rumah mereka pun perlahan ikut menghilang.
Mereka berdua berlindung di ruang tamu dan membuat semacam kemah-kemahan kecil sambil menonton film kartun di televisi kuno di rumahnya. Seiring berjalannya waktu, Kevin dan Kaylee mulai menyadari kehadiran sosok makhluk yang berada di rumah mereka.
Meski jarang menghadirkan jump scare, eksekusi cerita dan ekspresi aktornya, serta backsound yang digunakan mampu mengguncang psikis penonton dan membuat kita merasakan apa yang anak-anak tersebut rasakan.
Kita diajak menempatkan diri sebagai anak balita. Sendirian, diteror, ketakutan, tanpa pengetahuan dan kemampuan yang memadai untuk membela diri.
Skinamarink adalah
horor psikologis yang sukses memaksimalkan ketakutan psikologis penontonnya.
Film horor ini bukan lah suatu tayangan yang mampu dicerna oleh semua orang. Tapi penggiat
horor, khususnya
horor psikologis, pasti bakal satu suara deh sama gue.
Sutradara Skimarink menggunakan sound dan teks terjemahan yang jarang-jarang untuk mengguncang kenyamanan kita. Backsound kartun yang aneh, kata-kata yang terdistorsi, bahkan disematkan manipulasi emosional melalui pertanyaan lugu seorang anak.
Suara sama pentingnya dengan visual dalam
Skinamarink dan sutradara menemukan cara yang tepat untuk membangun ketegangan atmosfer yang sukses berkat kolaborasi kedua elemen tersebut yang sangat apik.
Karena masa kecil menjadi fokus utama dalam karya ini dalam begitu banyak aspek,
Skinamarink sangat resonan secara emosional. Rasanya ingin melompat ke layar untuk menyelamatkan anak-anak yang ada di tengah cerita ini. Salah satu adegan tertentu dalam film ini (gue gamau spoiler) bikin gue menangis tanpa sadar. Jarang ada
film horor yang memiliki alur emosional yang kuat.
Terakhir,
Skinamarink melakukan sesuatu yang cukup langka, bahkan mungkin belum pernah dilakukan dalam
film horor. Dengan cara yang cerdas, kreatif, dan sangat menakutkan, film ini memfokuskan cerita kepada penontonnya. Ya, di akhir cerita penonton dibuat seolah menjadi karakter dalam film ini.
Seolah film ini menyiratkan bahwa kita bukanlah penonton yang aman dari hal ini, kita memiliki alasan untuk tetap takut di dunia nyata. Setelah film ini berakhir, penonton akan terngiang. Saat kita berbaring di malam hari, kita akan merasa ada sesuatu yang mengintai di sudut kamar.
Baca Selengkapnya
Visit Blog