Pada hari Ahad tanggal 23 Januari 2022, aku ikut kajian tafsir surat Al-Muthaffifin di zoom. Waktu itu aku ngezoomnya sambil momong anak, jadi aku cuma dapet bagian awal dan akhirnya aja karena aku kesulitan untuk fokus. Bagian awal yang sempat aku simak itu mulai dari ayat 1 sampai 6. Terus bagian akhirnya pas sesi tanya jawab.
Aku share bagian awalnya dulu ya, karena tafsir dari surat Al Muthaffifin ayat 1 sampai 6 ini luar biasa banget menurutku. Aplikasi dari surat ini nantinya nggak hanya terbatas pada hal yang menjadi sebab ayat ini diturunkan, tapi juga bisa luas sampai ke kehidupan kita sehari-hari.
Jadi awalnya, asbabun nuzul surat ini adalah karena adanya kecurangan pada praktek jual beli masyarakat di madinah. Bahkan masyarakat madinah saat itu dikenal sebagai masyarakat yang paling curang dalam hal timbangan.
Maka di ayat pertama, Allah menegur mereka dengan mengatakan, “Celakalah Al muthaffifin (orang-orang yang curang)”. Celaka disini bukan hanya di dunia, tapi juga di akhirat kelak, karena di dunia mereka tidak memperoleh keberkahan dan di akhirat mereka akan berhadapan dengan pengadilan Allah dan mendapat kemurkaanNya. Naudzubillaahi min dzalik.
Kemudian di ayat-ayat selanjutnya, Allah menjelaskan ciri-ciri orang yang curang itu. Mereka adalah orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta disempurnakan (2). Tapi apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi (3).
Ternyata ayat kedua dan ketiga ini berlaku secara umum, tidak hanya menyangkut masalah timbangan. Perbuatan curang itu ternyata bisa saja kita lakukan dalam lingkup kecil kehidupan kita. Misalnya, saat disuruh salat 5 waktu oleh Allah, kita sering tidak tepat waktu. Tapi begitu kita punya hajat, kita ingin disegerakan dan dimudahkan oleh Allah. Ini bisa dikatakan kita tidak adil atau curang kepada Allah namanya. Apalagi jika kita sering tidak mentaatiNya dan malah melakukan perbuatan dosa yang dilarangNya.
Kemudian di ayat 4 sampai 6, Allah mengingatkan bahwa mereka akan dibangkitkan pada hari kiamat, menghadap Tuhan semesta alam untuk mempertanggungjawabkan semua yang telah mereka perbuat. Tidak ada yang bisa berdusta pada hari itu, karena semua perbuatan mereka telah ditulis di kitab catatan amal mereka masing-masing.
Intinya sih, ini peringatan buat kita untuk menjalankan amanah dengan sebenar-benarnya dalam kehidupan kita ini. Apapun itu amanah yang kita punya, harus ditunaikan dengan adil dan penuh tanggung jawab. Jangan sampai kita termasuk ke dalam golongan orang munafik yang suka berdusta, tidak bisa memelihara amanah, dan suka ingkar janji.
Selain itu, kita juga harus bersikap adil, dengan menempatkan segala sesuatu pada tempatnya. Bersikap adil dengan tidak hanya menuntut hak, tapi juga berusaha menunaikan setiap kewajiban dengan penuh tanggung jawab.
Dengar ustadnya bahas tentang adil, spontan dong aku nanya pas di sesi tanya jawab, “Ustad, seorang suami yang menikah lagi tanpa sepengetahuan istrinya, apakah termasuk al muthaffifin?”
Terus ustadnya bahaslah tentang poligami. Bahwa poligami itu nggak bisa hanya dilihat dari sisi fiqih semata. Ya emang sih sah-sah saja seorang suami menikah lagi secara diam-diam. Tapi perlu diperhatikan juga
manfaat dan mudharatnya. Apakah diam-diam itu nantinya akan mencederai rasa keadilan dan kasih sayang antara suami istri? Apakah diam-diam itu nantinya bisa membuat rumah tangga yang tadinya harmonis menjadi terguncang?
Ustad juga berpesan, buat para suami yang punya niat menikah lagi, persiapkan diri sendiri terlebih dahulu, pantaskan diri di hadapan Allah. Karena kalo memang seorang lelaki itu telah Allah anggap pantas menikah lagi, maka Allah pun akan melembutkan hati istrinya itu untuk menerima keadaan tersebut. Begitu sih kira-kira yang aku tangkap dari kajian hari itu. Wallahu a’lam.