Halo hai…
Tiba kita di momen Ramadhan yang penuh berkah. Biasanya, setiap suku mempunyai kultur tersendiri dalam menyambut Ramadhan.
Kali ini, sebagai geng nikah campur suku, yakni Jawa dan Bugis, aku akan berbagi cerita bagaimana kedua suku tersebut menyambut datangnya Ramadhan.
Dalam kultur Jawa, menyambut Ramadhan wajib hukumnya melakukan tradisi punggahan. Yakni kenduri/genduren di rumah masing-masing. Tuan rumah mengundang tetangga sekitar, membaca doa dan membagikan makanan untuk di bawa pulang agar bisa dinikmati bersama keluarga di rumah.
Di desaku, punggahan tidak lagi dilaksanakan di rumah masing-masing. Kebanyakan mulai melaksanakannya secara berkelompok di masjid. Untuk meminimalisir makanan yang terbuang. Karena belajar dari sebelumnya, punggahan yang dilaksanakan di rumah masing-masing itu sifatnya bergantian. Bayangkan jika 10 rumah saja melaksanakan punggahan, maka ada 10 berkat yang dibawa pulang. Dan itu semua tidak bisa termakan sekaligus. Otomatis akan terbuang dan jadi sampah. Mubazir banget, kan?
Nah punggahan bersama-sama di Masjid, yakni membawa berkat masing-masing untuk dibacakan doa dan dibagikan kepada undangan, lebih bermanfaat bagi sesama.
Di Bugis, dalam menyambut Ramadhan tidak seheboh di kultur Jawa. Biasanya anak-anak yang merantau -yang masih dalam jangkauan- akan pulang kampung untuk menikmati sahur pertama bersama keluarga. Momen yang barangkali jarang dilakukan di hari-hari lain. Dan awal Ramadhan menjadi titik pertemuan dan momen merekatkan hubungan diantara anggota keluarga.
Dari kedua kultur tersebut, dapat di tarik dua persamaan yakni sama-sama bersuka cita menyambut Ramadhan.
