Sudah 2 bulan lebih saya menjalani kehidupan sebagai orang -dewasa- berumur 25 tahun. Rasanya campur aduk. Mungkin kebanyakan tidak terlalu excited karena banyak tuntutan yang sudah terbayang sebelum saya resmi menginjak umur itu.
Setelah dijalani, ada kalanya saya merasa sudah di ujung tombak karena masih banyak hal yang ingin saya lakukan, tapi umur saya sudah 25 tahun. Saya tersudutkan oleh tekanan-tekanan sosial, contohnya saja menikah. Itu baru yang paling umum, belum lagi sekarang banyak standar baru seperti: harus sudah punya gaji sekian, sudah nyicil rumah, dll.
Padahal, ya masih 25 tahun, bukan akhir dari segalanya. Saya merasa seakan-akan “waktu” atau jatah untuk memilih sendiri kehendak kita dengan bebas sudah semakin habis. Padahal harusnya itu bukan sesuatu yang dilihat seperti stok ‘kan?
Dari 25 tahun saya hidup, apa saja sih keputusan hidup yg benar-benar saya pilih karena saya sadar, kalo saya ingin memilih A karena pertimbangan dan hasil pemikiran saya sendiri? Sudah sejauh mana saya bebas menguasai hidup saya sendiri? Walau sebenarnya masih suka terbersit “Memang kita bisa benar-benar bebas?”
Saya capek didikte sama standar sosial harus ini harus itu, kalo sudah ini, saatnya itu.. Apalagi diawali template \\\”Sebagai perempuan..\\\”
Saat tulisan ini dibuat, saya ingat pernah ditanya “Kenapa mau kuliah?” Keadaannya, saya sudah tamat beberapa tahun lalu. Dan jawaban yang ada di kepala saya adalah “Ya, memang begitu bukan tahapannya? Sudah memang harus begitu.” In conclusion, saya ngikut aja. Banyak hal yang kalau ditanya alasan saya melakukannya, saya hanya berpikir “Bukannya semua orang begitu? Bukannya memang sudah begitu tahapannya?”. Ternyata saya mengikuti semuanya saja tanpa diikuti ‘kesadaran’.
Sesederhana memasang sepatu saja, kenapa saya lebih dulu memasang dua kaos kaki sekaligus, lalu baru sepatu dibanding kaos kaki kanan lalu sepatu kanan, kemudian kaos kaki kiri disusul sepatunya. Apa tindakan itu memang karena saya sadar atau sekedar ingatan mekanis saya sejak kecil?
Berapa banyak keputusan yang benar-benar saya -putuskan- dengan dicermati satu-satu, bukan sekedar ngikut?
Hal-hal yang saya jalani selama ini, saya ikuti dengan prinsip “mengalir begitu saja.” Saya nikmati, tapi makin ke sini kok rasanya ada yang harus saya benahi ya dari cara saya ini? Lalu saya sampai pada perenungan bahwa saya begini, ga punya planning dan ‘menjalani’ saja bisa jadi karena saya memang belum menemukan tujuan hidup saya apa. Saya masih bingung, saya cuman “ngikut.” Klise. Cara hidup paling aman alias malas ambil pusing.
Saya ingin mulai mengontrol sendiri pilihan, atensi, dan waktu saya. Mungkin hal-hal seperti disuruh -lebih seperti mendesak sambil interogasi- soal menikah karena sudah umurnya itu bagian trigger yang membangunkan saya juga.
Saya ingin kasih tau orang-orang yang berusaha mengendalikan hidup saya “Hidup saya ya pilihan saya, saya yang punya kendali atas waktu dan pilihan saya.”
Tapi, rasanya terlalu sombong untuk berpikir begitu sementara kenyataannya saya sendiri pun masih bingung sama hidup saya sendiri. Kalau saya mau main aman lagi, ya mungkin saat ini saya sudah mau menikah- ikut standar. Soal tujuan hidup tinggal ikuti saja apa yang akan terjadi.
Padahal sejatinya kalau saya ngomong soal tujuan dan hidup, itu harus saya cari terus. Akan lebih efektif jika saya merencanakan semuanya secara sadar. Sehingga ketika saya melakukan 1 hal dengan sadar, dengan adanya tujuan, hal itu juga akan membawa saya ke tujuan-tujuan lain.
Tapi, kadang realita hidup berbenturan dengan standar ideal kita pribadi.
Saya gak punya banyak waktu untuk merenungkan ini-itu (atau mungkin ini termasuk kemalasan yang berkedok sebagai pembelaan diri agar bisa maklum). Pilihan untuk bekerja setelah kuliah saja ya saya lakukan dengan prinsip: “Ya yang penting cari pengalaman dulu dan ringanin beban orangtua”. Sampai akhirnya saya ragu, saya memilih bidang ini secara sadar atau terjebak karena sudah terlanjur?
Sebenarnya itu bukan hal yang saya sesali, justru keterjebakan itu mungkin karena saya belum mengenal diri saya dan batasan-batasan saya sendiri. Mungkin sudah itu jalannya, dan saya bersyukur bisa sadar, kalau saya selama ini ternyata belum mengenal diri saya sendiri.
Yang berlalu, ya tidak apa. Cukup dijadikan pelajaran
Saya ingin hidup sadar, bukan sekedar apatis mengikuti alur tanpa tau jati diri saya sendiri.
Karena saya yakin saya diberi hidup untuk memberi value untuk tugas tertentu di sini. Itu yang harus saya temukan, agar hidup saya tidak sekedar hidup lagi, melainkan hidup dengan peran yang esensial. Karena nggak mungkin Tuhan membuat saya lahir atas sebuah ketidaksengajaan dan tanpa tujuan.
Lalu, apa tujuan saya?
I\\\’ll keep it for myself, hehe. But, this is gotta be the year I started to live mindfully. Sesederhana itu dulu. Ingin mindful, bukan mekanis seperti Robot. Jadi, di perjalanan saya menemukan tujuan, maupun menjalankan tujuan itu nantinya saya eksis sebagai diri saya sendiri.
Pelan-pelan belajar menempatkan diri, apa hal yang memang harus direncanakan, apa pula hal yang bisa dijalankan dengan intuitif dan mengalir saja mengikuti ritme. Tentunya akan butuh waktu dan pengalaman banyak sampai saya bisa membagi dua cara hidup itu dengan titik yang seimbang. Dan saya butuh untuk mengenali diri saya dengan baik untuk bisa melakukan hal itu. Sekaligus mengutip “Kenali dirimu, maka kamu akan mengenal Tuhanmu..”, ini akan jadi perjalanan dan pelajaran yang panjang, bukan?
Banyak hal yang akan terus berganti di dunia yang dinamis ini, satu-satu mulai tidak relevan termakan zaman. Kalau untuk memahami diri sendiri dan mengambil keputusan untuk diri sendiri masih sulit, apa jadinya saya nanti? Apa yang ideal bagi diri saya sendiri akan terus saya cari.
Walau mungkin semua berawal dari keinginan untuk memerdekakan diri dari ekspektasi sekitar, seenggaknya keputusan dan hal lain yang saya inginkan, saya putuskan hingga jalani secara sadar.
Saya tidak terlambat, ‘kan?