Beberapa hari lalu, seorang ibu datang bertamu ke tempat tinggal kami, dia datang karena ada keperluan, dan kemudian tiba-tiba saja obrolan mengalir membahas suaminya.
Suami si ibu baru 2 minggu berpulang ke Rahmatullah, dia ditinggal begitu saja dan tiba-tiba sekali, karena sang suami mengalami serangan jantung.
Kepergian tersebut membuat si ibu begitu terpukul, rasanya sulit menerima keadaan kalau suami tercinta sudah tiada.
Terlebih, kepergiannya sama sekali tak ada tanda-tanda, bahwa mereka akan berpisah.
“Kalau seandainya sebelumnya sakit kan, setidaknya saya udah siap-siap ya Mbak Rey, misal udah lama sakit dan saya liatnya kasian dia tersiksa, rasanya lebih rela melepas kepergiannya.” Kata si ibu tersebut.
Yang terjadi, sang suami pergi secara tiba-tiba, namun dia bersyukur, karena semalam sebelumnya, mereka udah saling maaf-maafin, iseng aja gitu tetiba saling minta maaf tanpa sebab.
Keesokan harinya, ketika malam hari, dan mereka bersiap hendak tidur, tiba-tiba suaminya menggigil, keringat dingin dan pucat pasi.
Segera dilarikan ke RS terdekat, dan ternyata bedasarkan rekomendasi dokter, saat itu juga sang suami masuk ICU.
Selama perjalanan ke rumah sakit, hingga di ruang ICU, si bapak masih bisa berkomunikasi, sampai akhirnya meninggal.
Bukan main terpukulnya si ibu, serasa kehilangan semangat hidup, serasa benar separuh nyawanya dibawa oleh sang suami.
Pasalnya, selama ini mereka adalah pasangan yang kompak, ke mana-mana bersama.
Ditambah sang istri nggak punya penghasilan sama sekali, selama ini, semuanya bergantung kepada suaminya, yang menjadi karyawan tetap di sebuah perusahaan di wilayah Ujung Surabaya.
Jadilah, antara si ibu bingung mau ngapain karena terpukul rasa kehilangan, juga bingung memikirkan nasib masa depan anak-anaknya.
Oh ya, suaminya pergi meninggalkan dia dengan 2 orang anak lelaki, satunya udah kuliah semester 7, dan satunya di kelas 5 SD.
Jadilah si ibu hanya mengandalkan uang pesangon kematian suaminya dari perusahaan, beserta 1 rumah yang dikontrakan.
Beruntungnya, si ibu punya 2 rumah, satu yang ditinggalinya, satu lagi dikontrakan.
Dalam kesedihannya yang tak bisa dijelaskan, si ibu merangkak bangun, tegar berdiri demi anak-anaknya, mulai berpikir tentang masa depannya bersama anak-anaknya, meyibukan diri dengan semua itu demi bisa sedikit mengikir rasa sakit kehilangannya.
“Saya itu rasanya, mending suami saya selingkuh, asalkan masih bisa saya liat di dunia ini, daripada kayak gini, nggak bisa lagi saya temui” si Ibu putus asa menggambarkan perasaannya.
Pernyataan tersebut disambut protes oleh adiknya, katanya Mbaknya tersebut mengada-ada, dan nggak tahu kalau sakit ketika dikhianati suami itu jauh lebih sakit bahkan mungkin kita berpendapat, mending suami meninggal aja ketimbang selingkuh.
Saya memperhatikan kedua kakak beradik itu dengan senyuman tipis, mencoba memahami kondisi mereka, sambil mengingat-ngingat kalau perkataan ‘mending suami selingkuh itu‘ pernah dikemukakan oleh BCL atau Bunga Citra Lestari.
Namun, otak saya malah sibuk memikirkan hal lain, di mana sesungguhnya, nggak ada pasangan yang tak pernah menyakiti atau membuat pasangannya sedih, khususnya istrinya di dunia ini.
Baca Selengkapnya
Visit Blog