“Pendidikan memang untuk semua orang, namun ternyata kesempatan untuk merasakan pendidikan terkadang tidak dimiliki banyak orang. Sehingga ada beberapa orang akhirnya tidak mengenal pendidikan.” – Gede Andika
Pagi itu adik saya bangun kesiangan. Jam menunjukkan hampir pukul 7 pagi. Dengan santai ia bertanya pada ibu di mana seragamnya. Setelah menemukannya, ia memakai atasan seragam dengan tetap menggunakan celana tidur.
Alih-alih memilih meja, kasur menjadi tempat favoritnya setiap pagi. Ia letakkan ponselnya di atas meja lipat kemudian menerima panggilan video. Suara berisik anak-anak kelas 5 SD mulai terdengar dan guru pun mengatakan kelas akan segera dimulai.
Meski sudah berlangsung beberapa hari, saya masih janggal dengan pemandangan ini. Aneh rasanya melihat adik saya sekolah dari atas kasur tanpa sarapan dan mandi. Terlebih lagi tanpa menggunakan seragam lengkap.
Masih segar dalam ingatan, bulan Maret 2020 media sosial dan portal berita Indoensia mengabarkan berita tidak menyenangkan dengan kabar virus Corona atau COVID-19 yang masuk ke Indonesia. Kepercayaan diri akan ketidakmungkinan tanah air tercinta mengalami pandemi pun luntur seketika.
Hingga beberapa bulan berlalu dan virus semakin merajalela. Wajah tertutup masker, kerumunan dibubarkan. Kebijakan lockdown diputuskan, masyarakat dianjurkan melakukan segala kegiatannya di rumah. Pekerja, mahasiswa, dan anak sekolahan terhenti sejenak dari rutinitas harian. Bertatap muka menjadi hal yang dihindari pada saat itu.
Terkurung di rumah dalam waktu yang tidak dapat dipastikan, membuat banyak orang mempertanyakan kelangsungan hidup mereka. Dari penghasilan yang terhenti karena tidak bekerja dan kegiatan belajar mengajar yang tidak jelas kapan dilaksanakannya lagi.
Pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui daring (dalam jaringan). Meski bukan keputusan yang mudah, tetapi hal ini dilakukan demi tetap berlanjutnya pendidikan. Pada saat itulah gawai, jaringan, dan kuota internet memegang peran penting bagi anak-anak untuk mendapatkan nilai.
Sayangnya, hal ini menjadi masalah baru bagi masyarakat menengah ke bawah yang masih banyak tidak memiliki gawai. Satu keluarga, barangkali hanya satu gawai. Itu pun hanya diisi pulsa seperlunya saja untuk dipakai bergantian.
Tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, lantas bagaimana mereka harus memenuhi kebutuhan anak akan gawai dan kuota untuk sekolah daring? Jangankan untuk membeli gawai, untuk memenuhi kebutuhan harian saja, mereka kesulitan terdampak pandemi.
Keadaan inilah yang dialami oleh masyarakat Desa Pemuteran, Buleleng, Bali. Terkenal dengan surga snorkeling, diving, dan konservasi terumbu karang, menjadikan Desa Pemuteran bertumpu pada sektor pariwisata sebagai penggerak roda ekonominya.
Melihat desa yang sepi karena terdampak pandemi, menggerakkan hati Gede Andika untuk mendirikan KREDIBALI (Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan). Yang mana program ini menyelesaikan tiga permasalahan sekaligus, yaitu pendidikan, lingkungan, dan kemanusiaan.
Baca Selengkapnya
Visit Blog