Beberapa bulan lalu, begitu ramai orang membuat (dan mengunggah ulang) video di media sosial dengan satu konten yang sama. Kalimatnya rata-rata serupa: “Telat inilah, telat itulah, mari kita mulai masa remaja di usia 30 tahun,” untuk orang yang sudah masuk di kepala tiga. Atau diganti dengan “di usia 25 tahun” untuk orang yang sudah masuk usia seperempat abad. Dan sebagainya, dan sebagainya.
Memasuki masa-masa quarter life crisis memang menimbulkan beragam pertanyaan dan perbandingan tentang kehidupan; tentang karier, kehidupan sosial, ataupun hubungan relasi. Di usia-usia ini, ada banyak orang yang sudah mendapatkan sesuatu yang mereka harapkan, tetapi tidak sedikit pula orang yang merasa stuck dan sulit mencapai mimpi-mimpinya. Di usia-usia ini, ada orang yang sudah menyebarkan undangan hingga menimang buah hati, tetapi tidak sedikit pula orang yang masih kebingungan dengan jodohnya; bahkan, calonnya pun tak ada. Di usia-usia ini, ada banyak orang yang sudah melanglang buana mengelilingi dunia, tetapi tidak sedikit pula orang yang bertahan memberikan tabungannya untuk sekadar bisa makan keluarganya. Tapi, apakah memang kehidupan menjadi sebuah ajang perbandingan dan perlombaan?
Tentu aku tidak munafik pernah merasa stres akibat beragam pertanyaan “kapan” dan “kenapa” dari mulut-mulut yang terlalu ramah itu. Itulah mengapa kalimat dalam konten tersebut seakan menjadi “penghibur” dan “penenang” bagi orang-orang yang merasa “telat” mencapai mimpi—jika dibandingkan dengan orang lain. Toh, tidak mengapa di usia segini baru bisa main bebas; toh, tidak masalah baru menikmati hidup di usia segini dan menikmati sedikit hasil jerih payahnya sekarang untuk bersenang-senang; toh, tidak apa-apa jika belum mencapai mimpi-mimpi itu; toh, tidaklah buruk menikmati hidup seperti masa remaja di usia 30 tahun; toh, usia hanyalah angka~ Kalau kata Tulus, menikmati hidup memulai masa remaja yakni seperti saat “kita masih sebebas itu, rasa takut yang tak pernah mengganggu”~
*selanjutnya di blog
Baca Selengkapnya
Visit Blog