Pagi itu seperti biasa, ibu mengantar saya sampai pintu kereta, sampai kereta berjalan menjauhi stasiun dengan tetap melambaikan tangan. Oh iya, waktu itu perusahaan kereta api ini belum sebaik sekarang, jadi siapapun bisa mengantar hingga pintu, bahkan bisa masuk dalam gerbong selama kereta belum bergerak.
Saya duduk di bangku yang berhadapan dengan penumpang lain, seorang bapak yang belum terlalu tua. Dia bilang agak iri melihat ibu saya menangis mengantarkan saya. Katanya, dia tidak pernah mendapat perhatian yang sedalam itu. Saya hanya tersenyum dan jujurnya saya agak bingung mau menanggapi bagaimana.
Ibu memang seperti itu. Setiap kali mengantar anaknya ke tempat yang berjauhan dari rumah, selalu ada air mata yang mengalir. Saya sudah gak heran. Dulu sewaktu adik-adik saya mondok di Jawa juga begitu. Setiap kali mengantar ke terminal Rajabasa, pasti saja ibu banyak terdiam kemudian menghapus air matanya sambil melambaikan tangan, tapi bibirnya tak henti memanjatkan doa untuk keselamatan anak-anaknya.
Kemarin, begitu juga. Kloter pertama untuk arus balik adalah adik perempuan saya yang sudah berkeluarga dan punya buntut tiga. Untuk kloter ini, ibu gak seberapa sedih karena memang terbilang bisa sering ketemu. Juga, karena memang dia sudah berkeluarga, jadi tetap ada yang menjaga meskipun jauh dari ibu. Hanya saja, masih kangen sama si bungsu karena dialah cucu paling kecil di keluarga ibu. Masih lucu-lucunya, dan selama berada di rumah, dia belum mau digendong siapapun selain ibu dan bapaknya, fiuhh.