fbpx

Analisa Wacana dan Media

1 August, 2023

Definisi Analisis Wacana dan Media

Definisi Wacana

Secara etimologi, istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta “wac/wak/vak”, yang artinya “berkata” atau “berucap”. Kata tersebut merupakan kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yang menunjukkan tindakan berbicara. Kata “wac” kemudian berubah menjadi “wacana” dengan tambahan sufiks “ana”, yang berarti membendakan. Dengan demikian, kata “wacana” dapat diartikan sebagai sebuah tuturan atau perkataan.

Secara terminologi, wacana digunakan oleh para ahli bahasa dalam kajian linguistik untuk menggambarkan struktur bahasa yang lebih luas daripada kalimat, yang terdiri dari rangkaian kalimat yang serasi dan saling terhubung secara kontekstual. Wacana bisa disampaikan secara lisan atau tulisan, dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Dalam wacana, setiap kalimat saling berkaitan dan berfungsi untuk menyampaikan pesan atau informasi tertentu. Sedangkan dalam ranah sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Istilah “diskursif” juga digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan suatu gagasan atau teks yang panjang dan kompleks.

Sementara menurut Ismail Muharimin, pengertian wacana adalah kemampuan untuk mengutarakan ide-ide secara teratur dan sistematis, baik secara lisan maupun tulisan, dengan cara yang formal dan terstruktur. Wacana juga diartikan sebagai sebuah komunikasi hasil pemikiran yang dilakukan dengan cara yang teratur dan resmi.

Dengan demikian, itu dapat disimpulkan bahwa wacana adalah suatu bentuk komunikasi bahasa untuk mengutarakan hasil pemikiran yang melibatkan penggunaan kalimat secara teratur, sistematis, dan terarah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, sehingga membentuk sebuah kesatuan yang memiliki makna. Pengertian wacana juga tidak terlepas dari hubungannya dengan konteks di mana wacana tersebut dihasilkan, baik itu konteks sosial, budaya, maupun situasional. Dalam wacana, hubungan antara teks (kalimat) dan konteks sangat penting untuk dipahami dalam rangka menginterpretasi makna yang terkandung dalam wacana tersebut.

Suatu kata atau frasa dapat mengandung wacana jika memenuhi persyaratan atau ciri-ciri sebagai berikut:

  • Topik: Kata atau frasa tersebut harus mengandung pernyataan yang singkat namun mencakup hal yang lebih luas sehingga dapat dimaknai oleh pendengar atau pembaca. Contohnya, “Perubahan iklim” merupakan topik yang mencakup berbagai aspek seperti perubahan suhu, peningkatan level air laut, bencana alam, dan dampaknya pada kehidupan manusia dan ekosistem.
  • Kohesi dan koherensi: Kohesi mengacu pada kepaduan unsur-unsur sintaksis antara satu dengan yang lain dalam satu wacana, termasuk konteksnya (keserasian bentuk). Sementara itu, koherensi terbentuk melalui rekaman kebahasaan dari suatu peristiwa komunikasi yang utuh secara makna (keserasian makna). Contohnya, “Saya pergi ke pasar untuk membeli buah-buahan. Kemudian, saya melihat ada toko sepatu baru yang buka dan saya memutuskan untuk melihat-lihat di sana” memiliki kohesi karena terdapat hubungan sintaksis antara kata-kata dalam kalimat tersebut.
  • Tujuan (fungsi): Suatu wacana dapat memiliki fungsi informatif, emotif, sikap, persuasif, dan asosiatif tergantung pada tujuan komunikatifnya. Contohnya, “Bersihkan lingkunganmu, sayangi bumi” merupakan kalimat yang berfungsi persuasif untuk mengajak orang untuk peduli pada lingkungan.
  • Keteraturan: Wacana harus memiliki keteraturan baik dalam kohesi maupun dalam logika yang masuk akal, baik itu dalam kata, frasa, klausa, kalimat, maupun alenia. Contohnya, “Saya sudah mengumpulkan uang dari teman-teman untuk membeli hadiah ulang tahun untuk sahabat saya. Saya sudah memilih hadiah yang bagus dan sekarang tinggal membeli kue ulang tahun”.

Selain itu, wacana juga terkait dengan teks, ko-teks, dan konteks:

  • Konteks: Ini merujuk pada situasi yang melingkupi teks, termasuk situasi pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk pesan, kode, dan media. Contohnya, “Cuaca hari ini sangat panas dan kering. Berita menyatakan bahwa beberapa daerah di sekitar kota kita mengalami kekeringan dan kesulitan air. Kita perlu berhemat dengan menggunakan air secukupnya agar tidak mengalami krisis air.” Dalam konteks ini, wacana berkaitan dengan situasi cuaca dan kondisi kekeringan di daerah sekitar.
  • Ko-teks: Merupakan kesejajaran, koordinasi, dan hubungan teks dengan teks lainnya. Contohnya, “Kami akan melakukan presentasi tentang penelitian kami pada konferensi minggu depan. Presentasi tersebut akan membahas temuan-temuan terbaru dalam penelitian kami.” Dalam ko-teks ini, wacana membahas presentasi tentang penelitian yang akan dilakukan.

Dengan memenuhi ciri-ciri tersebut, suatu kata atau frasa dapat dikatakan mengandung wacana.

Definisi Media

Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medius” yang berarti “tengah” atau “di antara”, yang juga merupakan bentuk jamak dari kata “medium”. Medium secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar”. Dalam bahasa Inggris, kata “media” pertama kali digunakan pada abad ke-19 untuk merujuk pada berbagai bentuk sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan secara efektif ke publik, seperti koran, majalah, atau buku. Saat ini, media juga merujuk pada platform digital seperti situs web, aplikasi, atau jejaring sosial yang digunakan untuk mengirim dan menerima pesan atau informasi.

Dalam konteks komunikasi, media itu berarti memediasi. Media memainkan peran penting di tengah tengah-tengah realitas sosial yang kompleks, penuh dengan berbagai macam kepentingan, konflik, dan fakta yang bervariasi. Oleh karena itu, media harus mampu memediasi kompleksitas ini dan beradaptasi dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat untuk memberikan informasi yang akurat dan relevan. Dengan demikian, media harus senantiasa memperhatikan konteks sosial yang ada dan memastikan bahwa informasi yang disajikan sejalan dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Sebagai contoh konkretnya, ketika sebuah media cetak meliput peristiwa unjuk rasa yang melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda dalam sebuah negara. Media tersebut harus memediasi kompleksitas konflik dengan memperhatikan konteks sosial yang ada dan memberikan informasi yang akurat serta relevan kepada masyarakat dengan melibatkan pernyataan dari perwakilan kelompok A dan kelompok B yang terlibat dalam unjuk rasa dan menghindari penggunaan istilah atau frasa yang dapat menyinggung salah satu kelompok.

Definisi Analisis Wacana Dan Media

Analisis wacana dan media merupakan istilah umum yang memiliki definisi yang sangat beragam. Secara garis besar, analisis wacana dan media adalah studi yang mempelajari bagaimana media menyampaikan pesan-pesan tertentu melalui penggunaan bahasa. Lebih jauh, analisis wacana dan media adalah salah satu kegiatan ilmiah yang berupaya untuk mengkaji, menelaah, atau menguraikan makna atau pesan komunikasi yang terdapat dalam suatu teks baik secara tekstual maupun kontekstual dengan menggunakan teknik atau metode tertentu dengan mempertimbangkan dan meninjau kefektivan sarana atau alat yang memediasi informasi tersebut ke publik.

Tujuan dari analisis ini adalah untuk memahami lebih dalam konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mendasari pembuatan, distribusi, dan konsumsi wacana dan media tersebut. Dalam analisis wacana dan media, diperhatikan berbagai aspek seperti konteks sosial, teks, naratif, bahasa, visual, dan suara untuk memahami bagaimana pesan atau informasi disusun, disampaikan, diterima dan memengaruhi pandangan dunia dan perilaku manusia. Hal itu senada dengan salah satu model analisis wacana yang populer digunakan, yakni model model Van Dijk. Menurut Van Dijk, analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata. Teks hanyalah hasil dari suatu proses praktik produksi yang perlu diamati dan dipahami bagaimana teks tersebut diproduksi. Dengan memperhatikan proses produksi teks, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alasan mengapa teks tersebut memiliki karakteristik tertentu. Berikut ini kerangka analisis wacana sesuai model Van Dijk:

a. Teks:

Van Dijk melihat wacana terdiri dari berbagai struktur atau tingkatan yang saling mendukung. Ia membaginya menjadi tiga tingkatan:

  • Struktur makro: Merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati melalui topik atau tema yang diutamakan dalam berita.
  • Superstruktur: Merupakan kerangka suatu teks, yaitu bagaimana bagian-bagian teks disusun menjadi satu kesatuan secara utuh.
  • Struktur mikro: Merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian-bagian kecil dalam suatu teks, seperti kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.
Struktur Wacana Hal Yang Diamati Elemen
Struktur makro Tematik (gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks) Topik
Super struktur Skematik (bagaimana bagian dan urutan cerita diskemakan dalam teks berita secara utuh) Skema (struktur tiga babak yaitu : awal, konflik, dan resolusi)
Struktur mikro Semantik(makna yang ingin ditekankan dalam teks berita) Latar,detail,dan maksud.
Struktur mikro Sintaksis (bagaimana kalimat (bentuk susunan) yang dipilih) Bentuk, kalimat, koheresi, dan kata ganti
Struktur mikro Stilistik (bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita) Leksikon
Struktur mikro Retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan Grafis dan gaya bahasa

b. Kognisi Sosial

Van Dijk melihat teks dari perspektif kognisi sosial yang melibatkan faktor-faktor seperti kepercayaan, pengetahuan, perilaku, norma, nilai, dan ideologi yang dianut oleh kelompok yang memproduksi teks tersebut. Analisis wacana tidak hanya terfokus pada struktur teks, tetapi juga mencerminkan makna, pendapat, dan ideologi. Untuk mengungkap makna tersembunyi dalam teks, diperlukan analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif beranggapan bahwa teks tidak memiliki makna secara inheren, melainkan makna tersebut diberikan oleh pemakai bahasa. Dalam konteks ini, perhatian diberikan pada proses produksi teks dan bagaimana realitas sosial dipahami sehingga tercermin dalam tulisan yang spesifik. Hal ini terkait dengan penonjolan, penutupan, waktu, kejadian, lokasi, dan kondisi yang relevan, serta perangkat yang digunakan dalam struktur teks.

c. Konteks Sosial

Van Dijk melihat teks dari perspektif kognisi sosial yang melibatkan faktor-faktor seperti kepercayaan, pengetahuan, perilaku, norma, nilai, dan ideologi yang dianut oleh kelompok yang memproduksi teks tersebut. Analisis wacana tidak hanya terfokus pada struktur teks, tetapi juga mencerminkan makna, pendapat, dan ideologi. Untuk mengungkap makna tersembunyi dalam teks, diperlukan analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif beranggapan bahwa teks tidak memiliki makna secara inheren, melainkan makna tersebut diberikan oleh pemakai bahasa. Dalam konteks ini, perhatian diberikan pada proses produksi teks dan bagaimana realitas sosial dipahami sehingga tercermin dalam tulisan yang spesifik. Hal ini terkait dengan penonjolan, penutupan, waktu, kejadian, lokasi, dan kondisi yang relevan, serta perangkat yang digunakan dalam struktur teks.

Setelah mengetahui elemen-elemen dalam kerangka analisis wacana, hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah pendekatan dalam menganalisis wacana. Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan secara bersamaan untuk menganalisis wacana. Pendekatan-pendekatan tersebut meliputi:

  • Pendekatan Struktural: Pendekatan ini menganggap wacana sebagai struktur yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan. Tujuan utamanya adalah menggambarkan struktur wacana sebagai sebuah bangunan dan mengidentifikasi hubungan antarkomponen. Fokus kajian mencakup kohesi wacana, koherensi wacana, konteks dan ko-teks, topik, dan struktur kewacanaan.
  • Pendekatan Sosiolinguistik: Pendekatan ini menggunakan epistemologi sosiolinguistik untuk menggambarkan wacana. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana dari perspektif sosiolinguistik. Fokus kajian mencakup latar dan situasi penuturan wacana, peserta tutur wacana, tujuan penuturan wacana, implikatur, variasi bahasa, dan aspek sosiolinguistik lainnya.
  • Pendekatan Pragmatik: Pendekatan pragmatik digunakan untuk menggambarkan wacana dengan mempertimbangkan aspek pragmatiknya. Fokus kajian mencakup prinsip dan maksim kesantunan, prinsip dan maksim kerjasama, serta prinsip dan maksim dalam konteks tuturan yang berbeda, seperti humor, persuasi, peradilan, negosiasi, dan debat.
  • Pendekatan Tindak Tutur: Pendekatan ini memfokuskan pada tindak tutur dalam wacana. Sasaran kajian adalah mengidentifikasi dan mengungkap unsur-unsur tindak tutur yang terkandung dalam wacana, seperti lokusi, ilokusi, perlokusi, tindak konstatif, tindak direktif, dan lain-lain.
  • Pendekatan Kritis: Pendekatan kritis atau analisis wacana kritis (AWK) menekankan pemahaman yang lebih luas dalam kajian wacana. AWK melibatkan analisis sosial, politik, gender, dan kekuasaan yang terkandung dalam wacana. Pendekatan ini memungkinkan kajian wacana untuk membahas praktik dan proses sosial yang tersembunyi di dalam wacana.

Kerangka Pijakan Dalam Analisis Wacana

Dalam epistemologi analisis wacana, terdapat beberapa kerangka pijakan yang berbeda, seperti yang disimpulkan oleh Eriyanto (1974) dari Mohammad A. S. Hikam (1958). Untuk menyederhanakan berbagai macam pendekatan analisis wacana, dapat dikelompokkan ke dalam tiga pandangan utama, yaitu positivisme-empiris, konstruktivisme, dan kritis. Pandangan ini mencakup berbagai cara pandang atau metodologi yang berbeda, untuk memandang dan menganalisis wacana secara berbeda.

a. Pandangan positivisme-empiris

Secara garis besar, pandangan positivisme-empiris berfokus pada kebenaran bahasa secara grammatikal. Pandangan ini menganggap bahasa hanya sebagai medium untuk berkomunikasi dalam menyampaikan gagasan, perasaan, dan melakukan persuasi. Penggunaan bahasa dianggap dapat mengekspresikan pengalaman manusia  tanpa hambatan atau distorsi selama pernyataan yang disampaikan logis dan memenuhi aturan sintaksis, semantik, serta mengacu pada data empiris. Pandangan ini mempelajari bahasa secara independen tanpa terkait dengan aspek sosial atau budaya. Dalam analisis wacana, implikasi logisnya adalah bahwa tidak perlu memahami makna subjektif atau nilai-nilai yang mendasari sebuah pernyataan, karena yang penting adalah kebenaran pernyataannya. Dengan kata lain, pandangan ini bertujuan untuk menjelaskan tata aturan kalimat, bahasa, dan makna kata-kata dalam wacana yang kemudian dinilai berdasarkan kebenaran atau ketidakbenaran dari segi sintaksis dan semantik — Analisis Isi (kuantitatif).

b. Pandangan konstruktivisme

Pandangan konstruktivisme atau fenomenologi memandang bahasa sebagai produk dari interaksi subjek dan objeknya, yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pandangan ini menolak pemisahan subjek dan objek dalam pemahaman bahasa seperti yang dilakukan oleh aliran positivisme/empiris. Konstruktivisme lebih menekankan peran penting subjek dalam pembentukan wacana, di mana subjek dapat menentukan arah dan makna wacana dengan kendali atas ucapan dan maksud yang diutarakan. Pandangan ini melihat bahwa setiap ucapan yang dilontarkan merupakan upaya pembentukan diri dan pengungkapan jati diri melalui makna yang dibangun. Analisis wacana dalam pandangan ini bertujuan untuk membongkar maksud dan makna tertentu dalam wacana, dengan mengungkapkan maksud tersembunyi dari si pembicara yang berkaitan erat dengan jati dirinya – Analisis Framing (bingkai).

c. Pandangan kritis

Pandangan kritis, yang mengadopsi post-strukturalisme, merupakan koreksi terhadap konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna secara historis dan institusional. Pandangan ini menerapkan teori wacana Foucault yang memandang wacana sebagai alat untuk melakukan dominasi dan menyebarkan kekuasaan, membentuk jenis-jenis subjek dalam wacana dan perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Paradigma kritis ini tidak menekankan analisis bahasa pada kebenaran struktur bahasa, tetapi pada tatanan kekuasaan yang membentuk dan mereproduksi makna. Individu bukanlah subjek netral, tetapi sangat tergantung pada kekuatan sosial dalam masyarakat. Pandangan ini melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, tema wacana, dan strategi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana (discourse analysis) digunakan untuk mengungkap kekuasaan dan dominasi yang tersirat dalam penggunaan bahasa. Perspektif kritis ini membedakan paradigma ketiga ini dengan dua paradigma sebelumnya, dan disebut sebagai Critical Discourse Analysis (CDA).

Korelasi Antara Wacana dan Media

Wacana dan media saling mempengaruhi satu sama lain dalam bentuk produksi, distribusi, dan konsumsi informasi untuk dapat menyampaikan pesan dan mempengaruhi pandangan dunia dan perilaku manusia. Wacana dapat diartikan sebagai suatu bentuk komunikasi bahasa, yang digunakan untuk menghasilkan arti atau makna. Dalam konteks analisis wacana, wacana dianggap sebagai alat untuk mengungkapkan kekuasaan, ideologi, dan tindakan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Wacana dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti teks tertulis, lisan, atau visual. Sementara itu, media adalah sarana komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan informasi dari sumbernya ke khalayak ramai. Media dapat mencakup berbagai bentuk, seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan internet. Dalam konteks analisis media, media dianggap sebagai sumber informasi yang memengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat.

Korelasi antara wacana dan media terlihat dalam bagaimana media digunakan untuk menyebarluaskan wacana tertentu. Misalnya, dalam suatu pemilihan presiden, media dapat membentuk wacana tentang calon tertentu melalui pemberitaan yang memperlihatkan sisi positif atau negatif dari calon tersebut. Melalui pemilihan kata, pemilihan gambar, atau penyajian cerita, media dapat mengarahkan pandangan masyarakat terhadap suatu calon. Pada saat yang sama, wacana dapat memengaruhi media melalui berbagai cara, seperti melalui pengaruh kebijakan pemerintah atau pengaruh pemilik media yang mana menjadikan media sebagai alat untuk mempromosikan kultur dan ideologi dominan yang sesuai dengan kepentingan kelas dominan. Meskipun demikian, media juga dapat menjadi sarana perlawanan terhadap kekuasaan, di mana media dapat digunakan untuk membangun kultur dan ideologi alternatif yang mewakili aspirasi kaum tertindas. Lebih lanjut, wacana juga dapat memengaruhi bagaimana media menafsirkan dan melaporkan berita, serta bagaimana media memilih topik dan narasi yang mereka beritakan. Wacana yang memiliki struktur dan isi yang tepat dapat membantu meningkatkan efektivitas pesan yang disampaikan melalui media. Sebaliknya, wacana yang tidak tepat atau ambigu dapat menyebabkan pesan yang disampaikan melalui media menjadi kurang jelas atau bahkan salah dipahami oleh khalayak. Dengan demikian, jelas sekali bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara wacana dan media.

Dalam analisis wacana dan media, korelasi antara keduanya diperhatikan untuk mengetahui bagaimana informasi dihasilkan, didistribusikan, dan diterima oleh khalayak. Korelasi antara wacana dan media juga membantu memahami peran media dalam pembentukan opini publik dan budaya politik suatu masyarakat. Oleh karenanya, itu akan menjadi semakin mudah untuk menemukan wacana atau kepentingan yang ada di balik pemberitaan yang terpampang baik di media cetak ataupun elektronik.

Analisis Framing

Analisis framing adalah salah satu metode dalam menganalisis media. Framing sendiri dapat didefinisikan sebagai proses membingkai atau memberikan sudut pandang tertentu dalam menyajikan suatu peristiwa atau isu oleh wartawan atau media massa. Melalui framing, wartawan dan media massa juga dapat memilih informasi, opini, dan frasa yang menurut mereka tepat berdasarkan ideologi, pola pikir, dan pemikiran yang  mereka miliki. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, didapati bahwa suatu peristiwa dibingkai secara berbeda oleh media satu dengan media lainnya, meskipun peristiwa tersebut sama. Meskipun demikian, metode framing tidak secara total menyangkal kebenaran dari suatu peristiwa, namun diluruskan dengan cara yang halus. Hal ini dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek tertentu dari peristiwa tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, misalnya isu ditempatkan pada headline depan, menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, pemakaian grafis dan lain sebagainya. Dengan memilih aspek tertentu dari suatu peristiwa, media dapat mempengaruhi cara penulisan fakta dari peristiwa tersebut sehingga dapa menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektif penulisnya. Lihat contoh framing media pada ilustrasi berikut.

Dalam hal ini, analisis framing berarti metode analisis yang digunakan untuk memahami bagaimana realitas dipresentasikan oleh media serta melihat bagaimana media mengkostruksikan realitas. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis framing. Pertama, perbedaan dalam framing berita antara media satu dengan media yang lainnya mencerminkan siapa yang mengontrol siapa, siapa yang menjadi sekutu atau lawan, dan siapa yang menjadi patron atau klien. Kebijakan redaksional seperti ini menjadi panduan dalam menentukan kejadian mana yang diangkat menjadi berita atau komentar. Selain itu, kepentingan juga merupakan faktor penting dalam pembentukan framing suatu berita, dan dapat dilihat dari analisis isi berita tersebut. Framing adalah proses konstruksi, di mana realitas diberi makna tertentu. Sebagai hasilnya, hanya bagian tertentu dari realitas yang dianggap penting dan berarti bagi masyarakat. Dalam praktiknya, analisis framing sering digunakan untuk menganalisis pandangan atau kebijakan politik yang ada dalam suatu surat kabar. Dari situ dapat dilihat bahwa setiap surat kabar memiliki kebijakan politiknya sendiri.

Salah satu model dalam analisis framing adalah model miliki Robert N Entman. Framing Robert N. Entman dikonsep untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Pendekatan framing ini memiliki empat struktur besar dalam membingkai suatu peristiwa, yaitu:

  • Struktur sintaksis yang melihat penyusunan fakta atau peristiwa dalam teks berita seperti headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, dan pernyataan penutup.
  • Struktur skrip yang melihat cara pengisahan fakta dalam teks berita dengan memperhatikan kelengkapan berita seperti 5W + 1H.
  • Struktur tematik yang menilai bagaimana pandangan dan fakta disusun dalam teks berita berdasarkan proposisi, kalimat, atau hubungan kalimat secara keseluruhan.
  • Struktur retoris yang melihat bagaimana fakta ditekankan dalam teks berita dengan memperhatikan penggunaan leksikon, grafis, metafora, dan penandaan dengan unit analisis kata, idiom, gambar, foto, dan grafik.Definisi Analisis Wacana dan Media

    Definisi Wacana

    Secara etimologi, istilah “wacana” berasal dari bahasa Sanskerta “wac/wak/vak”, yang artinya “berkata” atau “berucap”. Kata tersebut merupakan kata kerja golongan III parasmaepada(m) yang bersifat aktif, yang menunjukkan tindakan berbicara. Kata “wac” kemudian berubah menjadi “wacana” dengan tambahan sufiks “ana”, yang berarti membendakan. Dengan demikian, kata “wacana” dapat diartikan sebagai sebuah tuturan atau perkataan.

    Secara terminologi, wacana digunakan oleh para ahli bahasa dalam kajian linguistik untuk menggambarkan struktur bahasa yang lebih luas daripada kalimat, yang terdiri dari rangkaian kalimat yang serasi dan saling terhubung secara kontekstual. Wacana bisa disampaikan secara lisan atau tulisan, dan membentuk satu kesatuan yang utuh. Dalam wacana, setiap kalimat saling berkaitan dan berfungsi untuk menyampaikan pesan atau informasi tertentu. Sedangkan dalam ranah sosiologi, wacana menunjuk pada hubungan antara konteks sosial dari pemakaian bahasa. Istilah “diskursif” juga digunakan oleh para ilmuwan sosial untuk menggambarkan suatu gagasan atau teks yang panjang dan kompleks.

    Sementara menurut Ismail Muharimin, pengertian wacana adalah kemampuan untuk mengutarakan ide-ide secara teratur dan sistematis, baik secara lisan maupun tulisan, dengan cara yang formal dan terstruktur. Wacana juga diartikan sebagai sebuah komunikasi hasil pemikiran yang dilakukan dengan cara yang teratur dan resmi.

    Dengan demikian, itu dapat disimpulkan bahwa wacana adalah suatu bentuk komunikasi bahasa untuk mengutarakan hasil pemikiran yang melibatkan penggunaan kalimat secara teratur, sistematis, dan terarah, baik dalam bentuk lisan maupun tulisan, sehingga membentuk sebuah kesatuan yang memiliki makna. Pengertian wacana juga tidak terlepas dari hubungannya dengan konteks di mana wacana tersebut dihasilkan, baik itu konteks sosial, budaya, maupun situasional. Dalam wacana, hubungan antara teks (kalimat) dan konteks sangat penting untuk dipahami dalam rangka menginterpretasi makna yang terkandung dalam wacana tersebut.

    Suatu kata atau frasa dapat mengandung wacana jika memenuhi persyaratan atau ciri-ciri sebagai berikut:

    • Topik: Kata atau frasa tersebut harus mengandung pernyataan yang singkat namun mencakup hal yang lebih luas sehingga dapat dimaknai oleh pendengar atau pembaca. Contohnya, “Perubahan iklim” merupakan topik yang mencakup berbagai aspek seperti perubahan suhu, peningkatan level air laut, bencana alam, dan dampaknya pada kehidupan manusia dan ekosistem.
    • Kohesi dan koherensi: Kohesi mengacu pada kepaduan unsur-unsur sintaksis antara satu dengan yang lain dalam satu wacana, termasuk konteksnya (keserasian bentuk). Sementara itu, koherensi terbentuk melalui rekaman kebahasaan dari suatu peristiwa komunikasi yang utuh secara makna (keserasian makna). Contohnya, “Saya pergi ke pasar untuk membeli buah-buahan. Kemudian, saya melihat ada toko sepatu baru yang buka dan saya memutuskan untuk melihat-lihat di sana” memiliki kohesi karena terdapat hubungan sintaksis antara kata-kata dalam kalimat tersebut.
    • Tujuan (fungsi): Suatu wacana dapat memiliki fungsi informatif, emotif, sikap, persuasif, dan asosiatif tergantung pada tujuan komunikatifnya. Contohnya, “Bersihkan lingkunganmu, sayangi bumi” merupakan kalimat yang berfungsi persuasif untuk mengajak orang untuk peduli pada lingkungan.
    • Keteraturan: Wacana harus memiliki keteraturan baik dalam kohesi maupun dalam logika yang masuk akal, baik itu dalam kata, frasa, klausa, kalimat, maupun alenia. Contohnya, “Saya sudah mengumpulkan uang dari teman-teman untuk membeli hadiah ulang tahun untuk sahabat saya. Saya sudah memilih hadiah yang bagus dan sekarang tinggal membeli kue ulang tahun”.

    Selain itu, wacana juga terkait dengan teks, ko-teks, dan konteks:

    • Konteks: Ini merujuk pada situasi yang melingkupi teks, termasuk situasi pembicaraan, pembicara, pendengar, waktu, topik, tempat, adegan, peristiwa, bentuk pesan, kode, dan media. Contohnya, “Cuaca hari ini sangat panas dan kering. Berita menyatakan bahwa beberapa daerah di sekitar kota kita mengalami kekeringan dan kesulitan air. Kita perlu berhemat dengan menggunakan air secukupnya agar tidak mengalami krisis air.” Dalam konteks ini, wacana berkaitan dengan situasi cuaca dan kondisi kekeringan di daerah sekitar.
    • Ko-teks: Merupakan kesejajaran, koordinasi, dan hubungan teks dengan teks lainnya. Contohnya, “Kami akan melakukan presentasi tentang penelitian kami pada konferensi minggu depan. Presentasi tersebut akan membahas temuan-temuan terbaru dalam penelitian kami.” Dalam ko-teks ini, wacana membahas presentasi tentang penelitian yang akan dilakukan.

    Dengan memenuhi ciri-ciri tersebut, suatu kata atau frasa dapat dikatakan mengandung wacana.

    Definisi Media

    Kata “media” berasal dari bahasa Latin “medius” yang berarti “tengah” atau “di antara”, yang juga merupakan bentuk jamak dari kata “medium”. Medium secara harfiah berarti “perantara” atau “pengantar”. Dalam bahasa Inggris, kata “media” pertama kali digunakan pada abad ke-19 untuk merujuk pada berbagai bentuk sarana atau alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi atau pesan secara efektif ke publik, seperti koran, majalah, atau buku. Saat ini, media juga merujuk pada platform digital seperti situs web, aplikasi, atau jejaring sosial yang digunakan untuk mengirim dan menerima pesan atau informasi.

    Dalam konteks komunikasi, media itu berarti memediasi. Media memainkan peran penting di tengah tengah-tengah realitas sosial yang kompleks, penuh dengan berbagai macam kepentingan, konflik, dan fakta yang bervariasi. Oleh karena itu, media harus mampu memediasi kompleksitas ini dan beradaptasi dengan dinamika yang terjadi dalam masyarakat untuk memberikan informasi yang akurat dan relevan. Dengan demikian, media harus senantiasa memperhatikan konteks sosial yang ada dan memastikan bahwa informasi yang disajikan sejalan dengan realitas yang terjadi di masyarakat. Sebagai contoh konkretnya, ketika sebuah media cetak meliput peristiwa unjuk rasa yang melibatkan dua kelompok etnis yang berbeda dalam sebuah negara. Media tersebut harus memediasi kompleksitas konflik dengan memperhatikan konteks sosial yang ada dan memberikan informasi yang akurat serta relevan kepada masyarakat dengan melibatkan pernyataan dari perwakilan kelompok A dan kelompok B yang terlibat dalam unjuk rasa dan menghindari penggunaan istilah atau frasa yang dapat menyinggung salah satu kelompok.

    Definisi Analisis Wacana Dan Media

    Analisis wacana dan media merupakan istilah umum yang memiliki definisi yang sangat beragam. Secara garis besar, analisis wacana dan media adalah studi yang mempelajari bagaimana media menyampaikan pesan-pesan tertentu melalui penggunaan bahasa. Lebih jauh, analisis wacana dan media adalah salah satu kegiatan ilmiah yang berupaya untuk mengkaji, menelaah, atau menguraikan makna atau pesan komunikasi yang terdapat dalam suatu teks baik secara tekstual maupun kontekstual dengan menggunakan teknik atau metode tertentu dengan mempertimbangkan dan meninjau kefektivan sarana atau alat yang memediasi informasi tersebut ke publik.

    Tujuan dari analisis ini adalah untuk memahami lebih dalam konteks sosial, budaya, politik, dan ekonomi yang mendasari pembuatan, distribusi, dan konsumsi wacana dan media tersebut. Dalam analisis wacana dan media, diperhatikan berbagai aspek seperti konteks sosial, teks, naratif, bahasa, visual, dan suara untuk memahami bagaimana pesan atau informasi disusun, disampaikan, diterima dan memengaruhi pandangan dunia dan perilaku manusia. Hal itu senada dengan salah satu model analisis wacana yang populer digunakan, yakni model model Van Dijk. Menurut Van Dijk, analisis wacana tidak cukup hanya didasarkan pada analisis teks semata. Teks hanyalah hasil dari suatu proses praktik produksi yang perlu diamati dan dipahami bagaimana teks tersebut diproduksi. Dengan memperhatikan proses produksi teks, kita dapat memperoleh pemahaman yang lebih mendalam tentang alasan mengapa teks tersebut memiliki karakteristik tertentu. Berikut ini kerangka analisis wacana sesuai model Van Dijk:

    a. Teks:

    Van Dijk melihat wacana terdiri dari berbagai struktur atau tingkatan yang saling mendukung. Ia membaginya menjadi tiga tingkatan:

    • Struktur makro: Merupakan makna global atau umum dari suatu teks yang dapat diamati melalui topik atau tema yang diutamakan dalam berita.
    • Superstruktur: Merupakan kerangka suatu teks, yaitu bagaimana bagian-bagian teks disusun menjadi satu kesatuan secara utuh.
    • Struktur mikro: Merupakan makna wacana yang dapat diamati dari bagian-bagian kecil dalam suatu teks, seperti kata, kalimat, proposisi, anak kalimat, parafrase, dan gambar.
    Struktur Wacana Hal Yang Diamati Elemen
    Struktur makro Tematik (gagasan inti, ringkasan, atau yang utama dari suatu teks) Topik
    Super struktur Skematik (bagaimana bagian dan urutan cerita diskemakan dalam teks berita secara utuh) Skema (struktur tiga babak yaitu : awal, konflik, dan resolusi)
    Struktur mikro Semantik(makna yang ingin ditekankan dalam teks berita) Latar,detail,dan maksud.
    Struktur mikro Sintaksis (bagaimana kalimat (bentuk susunan) yang dipilih) Bentuk, kalimat, koheresi, dan kata ganti
    Struktur mikro Stilistik (bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita) Leksikon
    Struktur mikro Retoris (bagaimana dan dengan cara apa penekanan dilakukan Grafis dan gaya bahasa

    b. Kognisi Sosial

    Van Dijk melihat teks dari perspektif kognisi sosial yang melibatkan faktor-faktor seperti kepercayaan, pengetahuan, perilaku, norma, nilai, dan ideologi yang dianut oleh kelompok yang memproduksi teks tersebut. Analisis wacana tidak hanya terfokus pada struktur teks, tetapi juga mencerminkan makna, pendapat, dan ideologi. Untuk mengungkap makna tersembunyi dalam teks, diperlukan analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif beranggapan bahwa teks tidak memiliki makna secara inheren, melainkan makna tersebut diberikan oleh pemakai bahasa. Dalam konteks ini, perhatian diberikan pada proses produksi teks dan bagaimana realitas sosial dipahami sehingga tercermin dalam tulisan yang spesifik. Hal ini terkait dengan penonjolan, penutupan, waktu, kejadian, lokasi, dan kondisi yang relevan, serta perangkat yang digunakan dalam struktur teks.

    c. Konteks Sosial

    Van Dijk melihat teks dari perspektif kognisi sosial yang melibatkan faktor-faktor seperti kepercayaan, pengetahuan, perilaku, norma, nilai, dan ideologi yang dianut oleh kelompok yang memproduksi teks tersebut. Analisis wacana tidak hanya terfokus pada struktur teks, tetapi juga mencerminkan makna, pendapat, dan ideologi. Untuk mengungkap makna tersembunyi dalam teks, diperlukan analisis kognisi dan konteks sosial. Pendekatan kognitif beranggapan bahwa teks tidak memiliki makna secara inheren, melainkan makna tersebut diberikan oleh pemakai bahasa. Dalam konteks ini, perhatian diberikan pada proses produksi teks dan bagaimana realitas sosial dipahami sehingga tercermin dalam tulisan yang spesifik. Hal ini terkait dengan penonjolan, penutupan, waktu, kejadian, lokasi, dan kondisi yang relevan, serta perangkat yang digunakan dalam struktur teks.

    Setelah mengetahui elemen-elemen dalam kerangka analisis wacana, hal selanjutnya yang perlu diketahui adalah pendekatan dalam menganalisis wacana. Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan secara bersamaan untuk menganalisis wacana. Pendekatan-pendekatan tersebut meliputi:

    • Pendekatan Struktural: Pendekatan ini menganggap wacana sebagai struktur yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berhubungan. Tujuan utamanya adalah menggambarkan struktur wacana sebagai sebuah bangunan dan mengidentifikasi hubungan antarkomponen. Fokus kajian mencakup kohesi wacana, koherensi wacana, konteks dan ko-teks, topik, dan struktur kewacanaan.
    • Pendekatan Sosiolinguistik: Pendekatan ini menggunakan epistemologi sosiolinguistik untuk menggambarkan wacana. Sasaran kajiannya adalah menemukan dan mengungkap karakteristik wacana dari perspektif sosiolinguistik. Fokus kajian mencakup latar dan situasi penuturan wacana, peserta tutur wacana, tujuan penuturan wacana, implikatur, variasi bahasa, dan aspek sosiolinguistik lainnya.
    • Pendekatan Pragmatik: Pendekatan pragmatik digunakan untuk menggambarkan wacana dengan mempertimbangkan aspek pragmatiknya. Fokus kajian mencakup prinsip dan maksim kesantunan, prinsip dan maksim kerjasama, serta prinsip dan maksim dalam konteks tuturan yang berbeda, seperti humor, persuasi, peradilan, negosiasi, dan debat.
    • Pendekatan Tindak Tutur: Pendekatan ini memfokuskan pada tindak tutur dalam wacana. Sasaran kajian adalah mengidentifikasi dan mengungkap unsur-unsur tindak tutur yang terkandung dalam wacana, seperti lokusi, ilokusi, perlokusi, tindak konstatif, tindak direktif, dan lain-lain.
    • Pendekatan Kritis: Pendekatan kritis atau analisis wacana kritis (AWK) menekankan pemahaman yang lebih luas dalam kajian wacana. AWK melibatkan analisis sosial, politik, gender, dan kekuasaan yang terkandung dalam wacana. Pendekatan ini memungkinkan kajian wacana untuk membahas praktik dan proses sosial yang tersembunyi di dalam wacana.

    Kerangka Pijakan Dalam Analisis Wacana

    Dalam epistemologi analisis wacana, terdapat beberapa kerangka pijakan yang berbeda, seperti yang disimpulkan oleh Eriyanto (1974) dari Mohammad A. S. Hikam (1958). Untuk menyederhanakan berbagai macam pendekatan analisis wacana, dapat dikelompokkan ke dalam tiga pandangan utama, yaitu positivisme-empiris, konstruktivisme, dan kritis. Pandangan ini mencakup berbagai cara pandang atau metodologi yang berbeda, untuk memandang dan menganalisis wacana secara berbeda.

    a. Pandangan positivisme-empiris

    Secara garis besar, pandangan positivisme-empiris berfokus pada kebenaran bahasa secara grammatikal. Pandangan ini menganggap bahasa hanya sebagai medium untuk berkomunikasi dalam menyampaikan gagasan, perasaan, dan melakukan persuasi. Penggunaan bahasa dianggap dapat mengekspresikan pengalaman manusia  tanpa hambatan atau distorsi selama pernyataan yang disampaikan logis dan memenuhi aturan sintaksis, semantik, serta mengacu pada data empiris. Pandangan ini mempelajari bahasa secara independen tanpa terkait dengan aspek sosial atau budaya. Dalam analisis wacana, implikasi logisnya adalah bahwa tidak perlu memahami makna subjektif atau nilai-nilai yang mendasari sebuah pernyataan, karena yang penting adalah kebenaran pernyataannya. Dengan kata lain, pandangan ini bertujuan untuk menjelaskan tata aturan kalimat, bahasa, dan makna kata-kata dalam wacana yang kemudian dinilai berdasarkan kebenaran atau ketidakbenaran dari segi sintaksis dan semantik — Analisis Isi (kuantitatif).

    b. Pandangan konstruktivisme

    Pandangan konstruktivisme atau fenomenologi memandang bahasa sebagai produk dari interaksi subjek dan objeknya, yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pandangan ini menolak pemisahan subjek dan objek dalam pemahaman bahasa seperti yang dilakukan oleh aliran positivisme/empiris. Konstruktivisme lebih menekankan peran penting subjek dalam pembentukan wacana, di mana subjek dapat menentukan arah dan makna wacana dengan kendali atas ucapan dan maksud yang diutarakan. Pandangan ini melihat bahwa setiap ucapan yang dilontarkan merupakan upaya pembentukan diri dan pengungkapan jati diri melalui makna yang dibangun. Analisis wacana dalam pandangan ini bertujuan untuk membongkar maksud dan makna tertentu dalam wacana, dengan mengungkapkan maksud tersembunyi dari si pembicara yang berkaitan erat dengan jati dirinya – Analisis Framing (bingkai).

    c. Pandangan kritis

    Pandangan kritis, yang mengadopsi post-strukturalisme, merupakan koreksi terhadap konstruktivisme yang kurang sensitif pada proses produksi dan reproduksi makna secara historis dan institusional. Pandangan ini menerapkan teori wacana Foucault yang memandang wacana sebagai alat untuk melakukan dominasi dan menyebarkan kekuasaan, membentuk jenis-jenis subjek dalam wacana dan perilakunya. Hal inilah yang melahirkan paradigma kritis. Paradigma kritis ini tidak menekankan analisis bahasa pada kebenaran struktur bahasa, tetapi pada tatanan kekuasaan yang membentuk dan mereproduksi makna. Individu bukanlah subjek netral, tetapi sangat tergantung pada kekuatan sosial dalam masyarakat. Pandangan ini melihat bahasa selalu terlibat dalam hubungan kekuasaan, terutama dalam pembentukan subjek, tema wacana, dan strategi yang terkandung di dalamnya. Oleh karena itu, analisis wacana (discourse analysis) digunakan untuk mengungkap kekuasaan dan dominasi yang tersirat dalam penggunaan bahasa. Perspektif kritis ini membedakan paradigma ketiga ini dengan dua paradigma sebelumnya, dan disebut sebagai Critical Discourse Analysis (CDA).

    Korelasi Antara Wacana dan Media

    Wacana dan media saling mempengaruhi satu sama lain dalam bentuk produksi, distribusi, dan konsumsi informasi untuk dapat menyampaikan pesan dan mempengaruhi pandangan dunia dan perilaku manusia. Wacana dapat diartikan sebagai suatu bentuk komunikasi bahasa, yang digunakan untuk menghasilkan arti atau makna. Dalam konteks analisis wacana, wacana dianggap sebagai alat untuk mengungkapkan kekuasaan, ideologi, dan tindakan sosial yang terjadi dalam masyarakat. Wacana dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti teks tertulis, lisan, atau visual. Sementara itu, media adalah sarana komunikasi yang digunakan untuk menyebarkan informasi dari sumbernya ke khalayak ramai. Media dapat mencakup berbagai bentuk, seperti surat kabar, majalah, televisi, radio, dan internet. Dalam konteks analisis media, media dianggap sebagai sumber informasi yang memengaruhi pemikiran dan tindakan masyarakat.

    Korelasi antara wacana dan media terlihat dalam bagaimana media digunakan untuk menyebarluaskan wacana tertentu. Misalnya, dalam suatu pemilihan presiden, media dapat membentuk wacana tentang calon tertentu melalui pemberitaan yang memperlihatkan sisi positif atau negatif dari calon tersebut. Melalui pemilihan kata, pemilihan gambar, atau penyajian cerita, media dapat mengarahkan pandangan masyarakat terhadap suatu calon. Pada saat yang sama, wacana dapat memengaruhi media melalui berbagai cara, seperti melalui pengaruh kebijakan pemerintah atau pengaruh pemilik media yang mana menjadikan media sebagai alat untuk mempromosikan kultur dan ideologi dominan yang sesuai dengan kepentingan kelas dominan. Meskipun demikian, media juga dapat menjadi sarana perlawanan terhadap kekuasaan, di mana media dapat digunakan untuk membangun kultur dan ideologi alternatif yang mewakili aspirasi kaum tertindas. Lebih lanjut, wacana juga dapat memengaruhi bagaimana media menafsirkan dan melaporkan berita, serta bagaimana media memilih topik dan narasi yang mereka beritakan. Wacana yang memiliki struktur dan isi yang tepat dapat membantu meningkatkan efektivitas pesan yang disampaikan melalui media. Sebaliknya, wacana yang tidak tepat atau ambigu dapat menyebabkan pesan yang disampaikan melalui media menjadi kurang jelas atau bahkan salah dipahami oleh khalayak. Dengan demikian, jelas sekali bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara wacana dan media.

    Dalam analisis wacana dan media, korelasi antara keduanya diperhatikan untuk mengetahui bagaimana informasi dihasilkan, didistribusikan, dan diterima oleh khalayak. Korelasi antara wacana dan media juga membantu memahami peran media dalam pembentukan opini publik dan budaya politik suatu masyarakat. Oleh karenanya, itu akan menjadi semakin mudah untuk menemukan wacana atau kepentingan yang ada di balik pemberitaan yang terpampang baik di media cetak ataupun elektronik.

    Analisis Framing

    Analisis framing adalah salah satu metode dalam menganalisis media. Framing sendiri dapat didefinisikan sebagai proses membingkai atau memberikan sudut pandang tertentu dalam menyajikan suatu peristiwa atau isu oleh wartawan atau media massa. Melalui framing, wartawan dan media massa juga dapat memilih informasi, opini, dan frasa yang menurut mereka tepat berdasarkan ideologi, pola pikir, dan pemikiran yang  mereka miliki. Oleh karena itu, dalam beberapa kasus, didapati bahwa suatu peristiwa dibingkai secara berbeda oleh media satu dengan media lainnya, meskipun peristiwa tersebut sama. Meskipun demikian, metode framing tidak secara total menyangkal kebenaran dari suatu peristiwa, namun diluruskan dengan cara yang halus. Hal ini dilakukan dengan memberikan penekanan pada aspek tertentu dari peristiwa tersebut dengan menggunakan berbagai strategi wacana, misalnya isu ditempatkan pada headline depan, menggunakan istilah-istilah yang punya konotasi tertentu, pemakaian grafis dan lain sebagainya. Dengan memilih aspek tertentu dari suatu peristiwa, media dapat mempengaruhi cara penulisan fakta dari peristiwa tersebut sehingga dapa menggiring interpretasi khalayak sesuai perpektif penulisnya. Lihat contoh framing media pada ilustrasi berikut.

    Dalam hal ini, analisis framing berarti metode analisis yang digunakan untuk memahami bagaimana realitas dipresentasikan oleh media serta melihat bagaimana media mengkostruksikan realitas. Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam analisis framing. Pertama, perbedaan dalam framing berita antara media satu dengan media yang lainnya mencerminkan siapa yang mengontrol siapa, siapa yang menjadi sekutu atau lawan, dan siapa yang menjadi patron atau klien. Kebijakan redaksional seperti ini menjadi panduan dalam menentukan kejadian mana yang diangkat menjadi berita atau komentar. Selain itu, kepentingan juga merupakan faktor penting dalam pembentukan framing suatu berita, dan dapat dilihat dari analisis isi berita tersebut. Framing adalah proses konstruksi, di mana realitas diberi makna tertentu. Sebagai hasilnya, hanya bagian tertentu dari realitas yang dianggap penting dan berarti bagi masyarakat. Dalam praktiknya, analisis framing sering digunakan untuk menganalisis pandangan atau kebijakan politik yang ada dalam suatu surat kabar. Dari situ dapat dilihat bahwa setiap surat kabar memiliki kebijakan politiknya sendiri.

    Salah satu model dalam analisis framing adalah model miliki Robert N Entman. Framing Robert N. Entman dikonsep untuk menggambarkan proses seleksi dan penonjolan aspek tertentu dari realitas oleh media. Pendekatan framing ini memiliki empat struktur besar dalam membingkai suatu peristiwa, yaitu:

    • Struktur sintaksis yang melihat penyusunan fakta atau peristiwa dalam teks berita seperti headline, lead, latar informasi, kutipan sumber, dan pernyataan penutup.
    • Struktur skrip yang melihat cara pengisahan fakta dalam teks berita dengan memperhatikan kelengkapan berita seperti 5W + 1H.
    • Struktur tematik yang menilai bagaimana pandangan dan fakta disusun dalam teks berita berdasarkan proposisi, kalimat, atau hubungan kalimat secara keseluruhan.
    • Struktur retoris yang melihat bagaimana fakta ditekankan dalam teks berita dengan memperhatikan penggunaan leksikon, grafis, metafora, dan penandaan dengan unit analisis kata, idiom, gambar, foto, dan grafik.
Baca Selengkapnya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
Ananda Putri Noviana
Tidak ada informasi member

Halo, !

Categories

More than 3500 female bloggers registered

PT. PEREMPUAN DIGITAL INDONESIA
Cyber 2 Tower 11TH Floor JL HR Rasuna Said Jakarta Selatan

calendar-full
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram