Saya pulang dengan hati berbunga dan menoleh pada ibu yang tampak berseri-seri juga. Kalau ini adalah sebuah buku, mungkin banyak pembaca yang akan mengasihani kami dan terbagi dalam dua kubu. Ada yang akan memihak hubungan ibu dengan Om Dino dan ada pula yang akan memihak hubungan saya dengan Damar. Haha seperti sebuah ironi yang nggak akan pernah diharapkan hadir dalam kehidupan nyata.
Saya dan Damar memutuskan untuk merahasiakan hubungan kami. Mencari momen yang tepat untuk memberi tahu orangtua kami. Sekali lagi, maafkan saya, Bu. Saya sudah cukup lelah mengabaikan perasaan saya demi kebahagiaan ibu selama ini. Tolong ijinkan saya kali ini untuk merasakan bahagia.
Akhir pekan berikutnya saya pergi menonton dengan Damar. Tentu saya nggak mengatakan pada ibu dengan siapa saya menonton. Hingga dewasa, ini pertama kalinya saya berbohong kepada ibu. Rasanya ada perasaan bersalah yang menyelimuti hati. Ah, sudahlah. Mungkin lama kelamaan saya akan terbiasa.
“Aku suka banget sama karakter Black Widow di film Avengers kemarin. Eh, kamu udah nonton Avengers kan, Mar?” tanya saya pada Damar saat kami memasuki studio.
“Udah dong! Aku nggak bakalan ngelewatin setiap film yang dibuat Marvel. Kan kamu tahu sendiri pajangan di rumahku penuh banget sama miniatur karakter Marvel haha,” jawab Damar bersemangat. Memperhatikan Damar menjelaskan hal yang disukainya selalu membuat saya gemas. Gimana nggak, wajahnya sudah seperti bocah laki-laki yang mendapatkan mainan baru.
Sepanjang menonton film, Damar nggak melepaskan genggaman tangannya sedetik pun. Semua yang saya alami malam ini nggak pernah terlintas dalam benak saya sebelumnya. Tentu saya senang bukan main seolah menjadi orang paling bahagia. Rasa bersalah pada ibu yang tadi menyelimuti, seolah sirna begitu saja. Ini pertama kalinya saya merasa bahagia dengan keputusan yang saya buat.
Sayangnya, kami harus melepaskan genggaman tangan kami karena khawatir akan ada seseorang yang melihat. Nggak enak juga ya kalau sembunyi-sembunyi seperti ini. Saya dan Damar bahkan menyembunyikan hubungan kami dari sahabat masing-masing.
“Mau makan apa kita, Nyonya?”
“Haha, apaan sih, Mar. Geli banget deh”
“Yaudah. Mau makan apa kita, Sayang?” katanya dengan senyum paling tampan yang membuat saya kikuk. Ya Tuhan, ciptaanmu di hadapanku ini sungguh indah. Engkau pasti sedang berada pada mood paling bagus saat menciptakannya.
“Maarrrrr, sumpah ya geli banget!!!” kami pun tertawa. Ah, meski nggak bergandengan tangan pun setiap orang yang melihat gelagat kami berdua pasti tahu kalau kami adalah sepasang kekasih yang sedang kasmaran.
Damar dan saya menghabiskan waktu hingga malam tiba. Kami melakukan semua hal yang kami suka. Seolah sepasang kekasih yang sekian lama nggak bertemu. Saya harap, setiap hari saya bisa merasa seperti ini. Jatuh cinta kepadanya setiap hari. Dicintai olehnya setiap hari.