Apa rasanya puasa sosial media? Bagaimana rasanya hidup tanpa sosial media? Apa yang terjadi jika kita tidak membuka laman sosial media kita untuk sehari saja?
Tidak terbayangkan tapi harusnya bisa!
Social media memang sudah menjadi bagian hidup kita. Bahkan gadget dengan segala kecanggihannya sudah menjadi anggota tubuh kita. Hampir dipastikan bahwa setiap kita pasti akan memegang gadget pertama kali ketika bangun tidur, seperti mematikan bunyi alarm bangun pagi pada ponsel misalnya.
Berawal dari hanya mematikan alarm bangun pagi, selanjutnya akan berlanjut dengan memeriksa chatting pada grup Whatsapp, Telegram, dan sebagainya. Setelah puas memeriksa dan membalas pesan, sosial media lainnya yaitu Instagram, Twitter dan Facebook biasanya akan menjadi sasaran selanjutnya bagi pengguna ponsel dipagi hari.
Memeriksa Direct Message, menekan tombol like pada foto terbaru teman-teman di Instagram, memantau hashtag terpopuler pada Twitter adalah sebagian hal yang dilakukan pada laman sosial media setiap harinya. Terutama pada jam-jam awal bangun pagi.
Tidak hanya pagi hari, pada saat-saat senggang pun ponsel pasti tidak pernah lepas dari tangan kita. Dilansir dari WeAreSocial berkolaborasi dengan Hootsuite yang setiap tahun menerbitkan hasil kajian terkait penggunaan internet, gadget dan teknologi lainnya, ditemukan bahwa Indonesia merupakan salah satu penduduk pengguna ponsel, internet dan sosial media tertinggi di dunia.
Total pengguna internet aktif di Indonesia sebanyak 202.6 juta (73.7% dari total populasi penduduk Indonesia) dengan 96.4% dari pengguna internet aktif tersebut yang menggunakan ponsel untuk berinternet ria.
Kita semua adalah pengguna aktif internet setiap harinya. Saya sebagai penulis menggunakan internet untuk menjangkau para pembaca. Begitu pun kalian yang sedang membaca blog ini pasti mengunakan ponsel dan kuota internet kalian (terima kasih by the way).
Internet dan penggunaan sosial memang banyak manfaatnya. Banyak akun-akun media sosial yang bagus dan bisa memberikan informasi kepada kita. Begitupun aplikasi-aplikasi pada gadget kita banyak yang diciptakan untuk membantu kita. Gojek, Grab, Traveloka, Shopee, Tokepedia dan sejenisnya banyak membantu kita dalam menjalankan kehidupan ini. Semakin ringkas, semakin cepat, semakin kita sukai.
Tahukah kita bahwa sebenarnya di balik aplikasi-aplikasi hebat tersebut ada sejumlah riset yang telah dirancang untuk membuat setiap aplikasi tersebut terus-menerus kita gunakan tanpa kita sadari?
Otak kita sebagai manusia diciptakan Tuhan untuk terus haus akan informasi. Informasi apapun itu. Baik atau buruk, Inilah kenapa akun-akun sosial media gosip artis begitu banyak yang mengikuti.
Seperti dalam film dokumenter The Social Dilemma banyak para petinggi atau ilmuwan dibidang teknologi memberikan kesaksian atas bahayanya penggunaan internet dan sosial media dalam jangka panjang. Bahkan mereka yang dulunya petinggi Google, Instagram, Twitter, Pinterest dan sebagainya akhirnya keluar dari perusahaan raksasa tersebut.
Saya juga baru tahu melalui film dokumenter tersebut bahwa semua aplikasi tersebut dirancang untuk membuat ketagihan para penggunanya. Sekedar melakukan scroll pada layar ponsel ternyata menyebabkan otak kita ketagihan melakukannya. Dan itu memang diriset oleh para pencipta aplikasi tersebut.
Semakin kita scroll, semakin banyak informasi yang kita serap. Orang yang sedang liburan di pulau mentereng, teman kita yang mungkin sedang mendapat promosi, tetangga kita yang kebetulan mendapat rezeki membeli mobil baru. Hal-hal yang sebenarnya tidak perlu kita tahu tapi kita menjadi tahu akibat terlalu lama dan ketagihan untuk scroll media sosial.
Jika sudah ketagihan, akibatnya timbul rasa FOMO (Fear Of Missing Out).
FOMO ini sudah menjadi krisis budaya. Berdasarkan sejarahnya, kata FOMO ini dipopulerkan oleh Patrick J. Mcginnis didalam bukunya yang juga berjudul FOMO (Fear of Missing Out). Beliau yang tidak sengaja memperkenalkan akronim tersebut pada jurnal ilmiahnya ketika menjadi mahasiswa di Harvard Business School (HBS) pada tahun 2004. Sekarang istilah FOMO sudah mendunia.
Menurut Patrick J. Mcginnis defenisi FOMO terbagi dua yaitu:
1. Rasa cemas yang tidak diinginkan yang timbul karena persepsi terhadap pengalaman orang lain yang lebih memuaskan daripada diri sendiri, biasanya lewat terpaan media sosial
2. Tekanan sosial yang datang dari perasaan yang tertinggal suatu peristiwa, atau tersisih dari pengalaman kolektif yang positif atau berkesan.
Jika sudah FOMO, biasanya bukan hanya candu untuk terus menerus membuka media sosial agar tidak ketinggalan informasi saja. Gelisah terus-menerus, takut gagal memanfaatkan setiap hal yang terjadi di sekitar, merasa diri kecil karena tidak bisa melakukan atau seberhasil orang-orang di sekeliling, mempertanyakan kepada diri mengapa diri ini masih begitu-begitu saja merupakan salah satu indikator FOMO sudah menyebar ke sel-sel psikologi kita.
Kita harus belajar berani untuk tidak mengalami semua hal. Berhentilah mencoba melakukan segalanya dan menjadi semuanya. Nyatanya, kita bisa meraih semua yang kita inginkan-tanpa harus memiliki segalanya. Daripada mengidam-idamkan hal yang kita lewatkan, kita akan merasa lega begitu berhasil mengesampingkan segala hal. Kita akan bergembira dalam apa yang tidak kita miliki; dan justru bisa mengarahkan perhatian pada hal-hal lain yang memang penting dalam hidup
Patrick J. Mcginni
Puasa media sosial rutin saya lakukan selama dua tahun terakhir. Setiap bulannya saya akan mengosongkan diri dari media sosial selama 1 minggu penuh. Khususnya dalam penggunaan Instagram, Facebook dan Twitter yang menuntut diri untuk ”harus tahu kehidupan oranglain”.
Karena sebenarnya kalau dipikir-pikir, untuk apa kita tahu kehidupan orang lain? Jika memang seseorang perlu tahu kehidupan kita, dia tinggal datang ke rumah kita untuk sekedar bercerita atau cukup chatting/video call via WhatsApp.
Kita sebagai pengguna media sosial, terkadang tanpa sadar sering egois. Egois karena hampir dipastikan setiap postingan yang kita tampilkan di laman media sosial kita adalah foto/video versi terbaik. Apakah ada dari kita yang ketika baru bangun tidur, dengan mata masih penuh belekan dan muka yang berminyak memposting penampilan tersebut di media sosialnya? Pastinya tidak ada. Kalau pun ada pastinya itu memang konten dan persona yang memang ingin dia bangun di media sosialnya agar cepat viral.
Egois karena tanpa sadar, melalui postingan kita yang super hebat tersebut ada orang yang diam-diam iri melihat kita. Ada orang -orang yang sedih dan rendah diri kenapa kehidupannya selalu terasa menyedihkan. Sedih kenapa dia tidak bisa seperti kita. Padahal kita sebagai pengguna media sosial tujuannya hanya untuk have fun saja ketika memposting sesuatu.
Saat kita memposting sedang makan sushi atau ramen termahal didunia, ada anak kecil yang bahkan belum makan seharian. Saat kita memposting sedang liburan mewah, happy-happy bareng teman hits, ada keluarga yang bahkan tidak punya rumah dan harus hidup di jalanan bertahun-tahun.
Ketika saya sadar akan hal inilah yang membuat saya tersadar jadi untuk selektif memposting sesuatu. Hal ini saya dapatkan ketika saya sedang puasa media sosial beberapa saat yang lalu dan ada beberapa orang yang terang-terangan memberitahu saja bahwa dia iri melihat postingan saya bersama suami yang sering travelling.
Saya tidak menyangka bahwa postingannya yang saya pikir untuk kesenangan diri sendiri, bisa membuat orang menjadi tidak damai sejahtera melihatnya. Siapa lah saya yang followernya hanya secuil bisa membuat orang kecil diri. Dan seperti yang kita tahu, kita tidak bisa membuat orang sepemikiran dengan kita. Kita lah yang harusnya sadar dan terus-menerus belajar untuk ikhlas jika mendapat kritik seperti saya tersebut. Tanpa kita bermaksud jahat, kita ternyata bukanlah selalu merupakan orang yang menyenangkan dan memberikan dampak baik ke orang.
Bagaimana mungkin ada orang yang bisa iri terhadap kita yang bukan siapa-siapa ini? Tapi buktinya saya menemukannya dan langsung berbicara kepada saya. Saya malah berterimakasih atas pernyataan beliau tersebut. Karenanya saya jadi belajar hal baru, bahwa siapapun bisa diirikan orang. Siapapun bisa memberikan dampak apapun kepada orang melalui postingannya di media sosial.
Maka dari itu, puasa media sosial ini menurut saya perlu dilakukan dan dibiasakan.. Selain menjaga kita tetap berakal sehat, kita bisa menjadi lebih tenang tanpa ada distraksi notifikasi media sosial bahwa si A sedang liburan, si B sedang membeli tas baru, dan si C sedang mendapat promosi dikantornya.
Seminggu saja per bulan. Awalnya aneh, tapi setelah menjalani ritual bulanan saya ini saya merasa lebih bijak menggunakan media sosial. Saya hanya membuka media sosial ketika memang saya ingin membuka. Setelah itu saya langsung log out akun saya. Beberapa akun artis atau influencer yang tidak memberi efek baik kepada saya, saya unfollow.
Karena kembali lagi lagi ke hukum media sosial :
1. Jangan memposting sesuatu yang akan membuatmu menyesal
2. Jangan melihat postingan orang lain yang akan membuatmu kecil diri
Bijaklah bermedia sosial. Usahakan membuka media sosial karena memang perlu karena berkaitan dengan pekerjaan atau memperkaya pengetahuanmu akan sesuatu yang bermanfaat. Bukan karena kamu sudah kecanduan media sosial dan terjangkit FOMO.