Membaca karya-karya Pramoedya Ananta Toer bagi saya bukan sekadar membaca sastra.
Ini adalah perjumpaan yang menyakitkan dengan sejarah - dan dengan sisi kemanusiaan yang terlalu sering disisihkan dari pusat narasi. Di dalam karyanya, saya menemukan luka yang tidak dibentangkan secara dramatis, tapi disisipkan perlahan, seperti duri yang tertanam dalam, nyaris tak terlihat tapi terus terasa.
Saya membaca Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, Rumah Kaca, Gadis Pantai, Perburuan, Arus Balik, dan juga Panggil Aku Kartini Saja. Buku-buku itu tidak hanya membentangkan sejarah Indonesia dari sudut pandang yang berani dan apa adanya, tapi juga menelusupkan cerita-cerita yang selama ini nyaris tak mendapat tempat: cerita tentang perempuan, tentang ketertindasan yang diam, dan tentang bagaimana sistem mengatur siapa yang boleh bicara, dan siapa yang harus tetap diam.