Impulse buying, frase yang sebelumnya ga familiar buat gue. Tapi pas tau, gue jadi tersadar kalau gue telah tertipu dan menipu diri gue sendiri karena impulse buying.
APA ITU IMPULSE BUYING?
Menurut The Economic Times, impulse buying adalah kecenderungan konsumen untuk membeli barang dan jasa tanpa perencanaan terlebih dahulu yang biasanya ditriger oleh emosi dan perasaan sesaat.
Bentuk impulse buying macam-macam. Kondisinya juga beragam. Barang-barang yang dibeli bisa perintilan seperti jepit rambut atau coklat sampai barang-barang mewah.
TERNYATA GUE AN IMPULSIVE BUYER
Gue masih jauh levelnya dengan Rebecca Bloomwood, karakter di novel dan film “Confession of a Shopacholic”. Gue ga ngerasa jadi orang yang boros atau doyan belanja. Tapi terkadang mudah buat gue untuk mengeluarkan uang yang susah payah gue hasilkan. Berikut ini contoh ceritanya:
Selayaknya orang Indonesia pada umumnya, saat situasi non pandemic sering kali gue iseng ke mall. Entah saat jalan sama keluarga, janjian sama teman-teman, atau pas lagi gabut.
Ga ada keperluan belanja. Hanya iseng. Mungkin karena mall di sini kita anggap sebagai pusat hiburan semua orang. One stop centre of recreation.
Iseng ini berada di grey area. Karena ga ada niat yang jelas, si iseng tadi itu bisa bertransformasi menjadi macam-macam seperti nongkrong di café atau resto, end up di cinema, atau pulang bawa belanjaan sambil bilang, ‘Tadinya gue ga niat belanja sih. Cuma iseng aja. Eh, malah nemu ini. lucu banget, kan?’
Ya, si iseng itu akhirnya beneran literally costs me money.