Dulu setiap kali ada masalah, saya sering banget nanya ke diri sendiri kayak gini. Apapun yang terjadi. Duh, ini salahku. Apa ya yang bikin aku kayak gini? Kok bisa sih aku ngelakuin kesalahan kayak gini? Aku harus lebih hati-hati. Dan masih banyak kalimat ‘intropeksi diri’ lainnya.
Awalnya saya pikir, kebiasaaan ‘intropeksi diri’ ini baik. Karena saya jadi bisa menyadari kesalahan dan segera membenahinya. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah selalu saya yang salah?
Hal ini baru saya sadari saat saya berusia 24 tahun. Waktu itu saya sedang ada di kelas dan kami sedang melakukan diskusi sebuah tugas. Dalam diskusi tersebut, saya nyeletuk,
“Ya, kita bisa tanya ke diri kita sendiri apa kesalahan kita”
Yang seketika dijawab oleh seorang teman, “Lho, ya nggak bisa. Kan belum tentu kita yang salah”
“Tapi, kan kita perlu intropeksi diri dan intropeksi diri kan juga buat kebaikan kita sendiri”
“Iya intropeksi diri emang bagus. Tapi, poinnya di sini bukan kita yang salah. Kalau kita selalu menyalahkan diri dalam sebuah permasalahan, itu toxic. Kan belum tentu juga salahnya ada di kita”
Dari situlah pada akhirnya saya sadar. Bagaimana saya memandang diri saya selama ini ternyata salah. Kebiasaan ini terbentuk karena saya seringkali dipandang berbeda di rumah.
Baca Selengkapnya
Visit Blog