Quitting is also an option
a hard difficult yet complicated option
Ketika mengambil keputusan untuk bercerai di tahun 2012 usia saya 23 tahun
Saya tahu betul perceraian bukanlah prestasi
Saya juga paham bahwa efek dari perceraian itu tidak hanya akan berdampak pada saya, tapi juga pada orang – orang di sekeliling saya
Pada mantan suami saya
Pada keluarganya
Pada anak kami
Pada keluarga saya
Ada banyak sekali tekanan yang saya terima di waktu itu
Semua kesalahan ditumpukan kepada saya
Jahat
Bodoh
Egois
Tidak ada satu orang pun yang memahami apa dan mengapa sebenarnya saya mengambil keputusan itu
Tidak ada yang memahami tentang suara dalam diri yang muncul ketika kita mencapai titik puncak dari emosi kita
Titik puncak ketika kita tidak lagi bisa menerima dan mentoleransi suatu hal tertentu yang terjadi dalam diri kita
Saya tidak mengatakan bahwa mantan suami saya tidak baik
Tidak
Tidak lagi
Kami berdua sama baiknya
Kami berdua sama buruknya
Pada akhirnya saya sadari semua memang harus terjadi
Apapun pilihan yang saya ambil, semuanya pasti akan memberikan saya pelajaran demi pelajaran
Kalaupun saya bertahan dalam pernikahan dan hidup seperti layaknya orang lainnya, sama saja – pasti akan ada pelajaran juga yang menyertai
Dan di tahun itu, 2012
Di tengah begitu banyak tudingan yang saya terima atas keputusan saya, saya menepi
Menyepi
Menghabiskan waktu dengan diri saya
Mencetuskan ide untuk pergi keliling Pulau Bali
Karena saya begitu yakin, perjalanan itu akan menyembuhkan saya
Kuliah saya sudah selesai di waktu itu,
Saya sudah wisuda
Hanya saja belum bekerja
Dari Denpasar saya naik motor ke arah Uluwatu
Sinar mentari cerah
Hamparan padang ilalang gersang
Deburan ombak di pantai tak bernama
Saya memulai dari tempat yang dekat
Di sekitar saya
Tidak perlu tempat jauh, meski sebenarnya saya begitu ingin mengikuti jejak Liz Gilbert (Eat, Pray, Love)
Tapi saya bukanlah dia
Saya adalah diri saya
Perjalanan ini adalah usaha saya untuk menyembuhkan jiwa pasca mengambil keputusan besar dalam hidup
Keputusan yang pasti akan membayangi langkah saya ke depannya
Kala itu yang saya pikirkan hanyalah berlari sejauh mungkin, menangis sekeras mungkin, memeluk diri seerat mungkin
Di tempat yang jauh
Di tempat yang asing
Di tempat yang tidak ada satu orang pun mengenali saya
Tanpa saya sadari, sebenarnya itu adalah sebuah langkah kecil berdampak besar
Sebuah langkah untuk menterapi pikiran, tubuh dan jiwa saya
Mata saya sembab
Berdiri di puncak tebing Pantai Tegal Wangi diterpa anginnya yang lengket dan lembab
Deburan ombak itu, seakan mengundang saya untuk melompat ke bawah – begitu saja
Ayo, tunggu apa lagi?
Melompat saja!
Bukankah kamu ingin sembunyi?
Sejenak saya terhanyut
Dibuai oleh alunan suara alam
Namun segera terhenyak
Tergambar tawa riang anak saya
Teringat tangisannya yang menggelegar
Apa yang saya lakukan ?
Saya melangkah mundur
Lalu duduk di bawah pohon, di atas dataran yang lapang
Tidak ada seorang pun disana
Hanya saya dan suara di kepala
Mengapa kamu melakukan ini?
Mengapa kamu bercerai?
Tanya suara itu
Saya menjawab,
Because I want to be my own person – saya ingin menjadi diri yang hanya untuk saya sendiri
I want to have a better, healthier and more rewarding life – saya ingin memiliki kehidupan yang lebih baik, lebih sehat dan lebih bermanfaat bagi diri saya
Menikah tidaklah mampu menjawab semua pertanyaan dan kebutuhan dalam hidup saya
Hidup versi dunia saya
Saya paham orang – orang hanya akan melihat dari sisi buruk
Tak ada yang benar – benar memahami apa yang sedang saya pikirkan
Apa yang sedang saya rasakan
Mereka hanya berfokus pada saya yang meninggalkan anak
Padahal saya tidak akan pernah berhenti menjadi Ibu dari anak saya hanya karena saya bercerai
Perceraian hanya antara saya dan suami saja
Kami, sudah tidak lagi menjalani hidup sebagai suami istri
Tapi kami masih amat bisa untuk mengubah hubungan itu menjadi apapun yang bahkan lebih baik
Ide gila
Siapa yang setuju?
Saya tertawa
Menertawai diri yang rasanya do not belong to this planet
Mungkin saya makhluk luar angkasa?
Ah saya jadi mengantuk
Saya lanjutkan memacu motor
Helm saya lepaskan
Tas ransel besar namun ringan setia berada di punggung
Saya menuju Ungasan dan terpesona dengan pantainya yang hijau kebiruan
Menyapa hangat
Memaksa saya untuk kembali ke masa kini
Sudah, tak usah lama membiarkan diri direngkuh masa lalu
Semua sudah berlalu
Jadilah pemberani
Terima tiap konsekuensi dari hasil perbuatan
Jalan hidupmu
Relung tajam tanpa batas
Mengapa kamu menangis?
Adakah kamu dilahirkan untuk menjadi sepengecut ini?
Keputusan sudah diambil
Yang sudah terjadi ya sudah
Ketahuilah apa yang kamu inginkan
Lalu berfokus hanya pada dirimu
Pada batinmu
Pada jiwamu
Saya duduk di atas pasir lembut yang basah
Menatap sekeliling, lagi – lagi sepi
Saya mau kemana?
Matahari masih tinggi
Rumah saya jauh dari tempat ini
Mengapa memikirkan rumah?
Rumah bukanlah tujuan saya di akhir hari
Lagi saya memacu motor
Membiarkan air mata jatuh berhamburan
Saya gagal
Saya gagal
Saya gagal
Hanya itu
Waterblow, Nusa Dua
dengan semburan ombak yang membasahi kepala
Berharap dengan itu mood akan berubah menjadi lebih baik
Disini lebih ramai
Lebih banyak orang
Saya berharap jangan sampai ada orang yang mengenali
Berjalan menyusuri trotoar
Berusaha tersenyum
Berusaha tegar
Cuaca masih panas dan saya kembali menuju taman
Semakin banyak orang
Saya tidak suka disini
Terlalu ramai
Saya kembali ke Uluwatu
Hari mulai sore, saya berhenti di pinggir jalan
Hujan
Saya mau tidur dimana?
Ada homestay
Tanpa pikir panjang saya masuk ke jalan terusan
Penuh semak
Tersembunyi
Melangkah kaki dan membayar sewa semalam
Saya mandi
Berharap akan mengundang kantuk
Saya lelah
Meski hanya melamun seharian itu
Namun ternyata energi habis
Keesokan harinya saya bangun
Dihampiri dua orang pemilik homestay
Bercakap dan berbincang
Dan memang semesta fana ini akan selalu menghadirkan pengalaman yang kita tarik sendiri
Mengikuti alunan hati
Pemilik homestay itu adalah suami istri
Istri WNI
Suami WNA
Suami baru menikah sekali itu saja – “Pertama dan terakhir”, ujarnya
Sementara istri telah dua kali menikah, keduanya gagal
Disitu saya terhenyak
Merasa malu
Karena berpikir bahwa hanya saya yang menderita
Padahal jika ditelusuri, hampir semua makhluk penghuni semesta ini pasti menderita
Saya tersenyum
Semangat terbarukan
Karena bertemu teman sepenanggungan
Merasa normal
Dengan penderitaan
Dengan kenaifan
Hari berganti, saya mengubah tujuan
Ubud – dimana romantisme spiritual menanti
Ide ide mulai bermunculan seiring dengan pikiran dan hati yang lebih terbuka
Hamparan sawah yang anggun
Bukit cinta nan syahdu
Serta denting gelas beradu di sebuah Bar bernama Napi Orti
Dengan menggandeng tangannya, saya berjalan di Museum Neka
Dia, kawan lama saya
Kami bertemu pertama kali di rumah teman di Singapadu ketika saya masih duduk di bangku SMA
Lalu kedua kali kami bertemu di acara Ubud Writer’s festival di tahun 2008
Seorang lelaki berparas rupawan
Ia pandai membuat tembikar
Akhirnya saya menyerah pada keterasingan
Saya seharusnya bertemu teman
Teman yang mengenal saya
Teman yang memahami saya
“Kamu berbahaya”, hanya itu katanya sambil tersenyum
“Jika ada yang lebih dari gila, maka ambillah kata itu untuk menggambarkan kehadiranmu di dunia sempit penuh kepalsuan ini”, lanjutnya lagi
Saya tak ingin berkata
Hanya mendengar
Ubud malam hari
Sederhana dan hangat
Pizza vegetarian
Aroma dupa studio Yoga
Menjadi mandiri
Hanya itu pesan tersirat
Tidur mulai nyenyak
Tersenyum tidak lagi menjadi hal yang sulit
“Sini kamu, ke Tejakula!!!”, suara riang kawan saya yang lain memenuhi ruang dengar
Saya sedang memberi makan monyet di Monkey Forest
“Ya, ntar sorean”, menjawab sekenanya
Mengucap perpisahan pun tak sempat
Padanya si kawan lama
Namun untuk apa
Selama hati masih bertaut, diam pun bisa menjadi bentuk komunikasi
Lagi memacu motor
Menjadi lebih bersemangat
Hanya saja belum mahir merapal jalan
Dari Ubud, menuju Kintamani
Menembus dinginnya kabut perbukitan
Entah bagaimana saya melaju kencang ke arah Karangasem
Tejakula itu di Karangasem
Pikiran ini merasa benar
Memaklumi lelah
Hari kian malam
Dering telepon sayup terdengar
Suara kendaraan menderu
“Malam sekali kamu dari mana saja?!”, suara nyaring yang sudah lama tak saya dengar
“Tadi dari Kintamani aku ke Karangasem, kirain dekat ternyata jauh sekali”, sambil menghela nafas pelan, saya menyeruput teh hangat buatan Ibunya
“Buduh (Gila)! Ngapain ke Karangasem. Dari Kintamani lurus saja kamu sampai sudah”, ia tertawa
“Bukannya Tejakula itu di Karangasem?” saya membalas cuek, dengan teh hangat masih dalam genggaman
“Aduh Mongkeg lengeh (bodoh)! Desa Tejakula Kabupaten Buleleng!!!”, ia mengguncangkan pundak saya
Kami tertawa tergelak
Malam dalam peraduan
Cerita demi cerita
Tangis air mata
Usapan hangat
Sebagai pengingat
Bahwa kami pernah berteman
Sedang berteman
Masih berteman
Selamanya berteman
Semakin karib
Menyambut nasib
Dua hari saya habiskan bersama keluarganya yang bersahaja
“Pulang kamu, cari kerja. Nanti anakmu besar pasti akan mencari kamu”, itu kata – katanya sebelum saya benar – benar pergi
Dan saya kembali ke Denpasar dengan kesadaran dan perspektif yang lebih baik
Saya siap menghadapi tantangan hidup dan menyambut kesempatan yang akan datang menghampiri
2013
Saya mulai bekerja
Sebelum bekerja saya menyampaikan keinginan pada semesta
Pekerjaan yang seperti apa
Pekerjaan yang bagaimana
Terima kasih semua terwujud
Dan ketika keuangan aman, saya bisa memfokuskan diri untuk melakukan perjalanan lagi
Tidak usah jauh – jauh
Bagi saya yang baru belajar
Petualangan saya mulai di Pulau saya sendiri
Pulau Bali
Benarkah saya mengenal tiap sudutnya?
Ternyata tidak
Karena itulah petualangan saya keliling Bali begitu bermakna
Saya menyeberang menuju Nusa Lembongan
Menikmati indahnya hidup di pulau matahari – begitu saya menyebutnya
Hidup sebagai orang asing ternyata juga menghadirkan keindahan
Tak dikenali
Tak diamati
Tak dikomentari
Inilah surga yang sesungguhnya
Menyewa motor dengan harga 50ribu per hari
Menginap di homestay pinggir pantai
Menjelajahi Nusa Ceningan
Dengan melewati jembatan kuning
Naik ke atas bukit dan terlihatlah Nusa Penida yang perkasa dan mengundang saya untuk kesana
Keesokan harinya saya menyeberang lagi
Nusa Lembongan ke Nusa Penida harga tiketnya 60ribu (tahun 2013) untuk orang lokal seperti saya
Mungkin saat ini lebih mahal harganya
Dan lagi, berada dalam rengkuhan pulau asing
Menelusuri lekuknya
Mengunjungi desa desanya yang tersembunyi
Mencari teman
Bertemu dengan ironi demi ironi kehidupan
Sanur bagi mereka adalah kota
Tempat menghempas asa
Menjual garam, ikan dan hasil bumi lainnya
Pantai demi pantai
Saya beruntung karena saya tahu lebih dulu
Jauh sebelum beragam video nan eksotik beredar di berbagai platform media sosial
Laut adalah Ibu
Bumi ayahnya
Begitu mereka memberi tahu saya
Kami menyelam
Kami berkelana
Tiba waktunya pulang
Kami terpisah jarak
Kembali saya pada pekerjaan
Dunia habitat
Suara ketukan keyboard
Dokumen demi dokumen
Kala itu, saya bisa bertemu anak sesekali
Itu saja sudah lebih dari cukup
Saya yakin ke depannya harapan saya untuk co-parenting akan berhasil
Dan di saat ini 2021, semua harapan itu menjadi nyata 🙂
Ujung dari bekerja adalah bertualang
Lagi dan lagi tanpa pernah terpikir untuk berhenti
Setelah puas menjelajah setengah bagian Pulau Bali saya lanjut lagi ke arah Tenggara lalu Utara
Karangasem dan Buleleng
Dengan pesona magis yang mengesankan
Dulunya dua wilayah ini adalah benteng
Tempat menjaga seluruh pulau
Pantai berpasir hitam
Dialek bahasa yang saya sendiri pun kadang sulit untuk memahami
Udara yang panas namun di bagian lainnya begitu dingin
Konon katanya penduduk Bali asli (Bali Aga) adalah mereka yang berdiam di Karangasem (Tenganan) dan Trunyan – Bangli
Lalu saya siapa?
Hanyalah seseorang yang sedang berusaha mencari diri melalui perjalanan ini
Suasana yang khas
Amat jauh berbeda dari kehidupan saya di bagian tengah bawah Pulau Bali
Kota Denpasar
dengan hiruk pikuknya yang nyata
Kini berlari
Karangasem dimulai dari Gianyar lalu Klungkung
Jalanan besar
By Pass Ida Bagus Mantra – begitu mereka menyebutnya
Sepanjang jalan yang ada hanyalah pantai
Pantai Biaung
Pantai Ketewel
Pantai Pabean
Pantai Purnama
Pantai Erjeruk
Pantai Masceti
Pantai Lebih
Hanya itu yang bisa saya ingat
Selebihnya hanya mata dan ingatan menguntai
Masuk dari Goa Lawah
Lagi – lagi bertemu pantai
Lalu menuju Manggis
Melewati jalan menuju pelabuhan Padang Bai tempat kita bisa menuju Pulau seberang : Lombok
Karangasem membuai dengan alam serta arsitekturnya yang indah
Juga pantai yang menawan
Memacu motor melewati Culik
Amed, Tulamben, Kubu, Tianyar, Gretek
Dan tibalah di Bumi Panji Sakti – Buleleng
Angin utara yang menyejukkan
Semakin membuai dan meyakinkan diri ini bahwa saya berarti
Saya masih layak untuk melanjutkan hidup
Pagi menjelang
Masih samar samar bayangan
Menaiki perahu motor ke tengah laut
Melihat lumba – lumba
Hati melambai
Berseru pada hidup di hari ini
Keyakinan mulai timbul, akan hidup hari esok yang penuh harapan
Menyantap siobak yang lezat
Es ancruk
Teman – teman yang selalu membuat saya tertawa dan terus tertawa
Kami saling memanggil dengan sebutan ‘Cicing’
Keesokan harinya saya turun gunung, menuju Bedugul
Menengok keindahan alam berupa 3 danau – Danau Beratan, Danau Buyan, Danau Tamblingan
Jika ada yang bertanya Danau Batur maka tempatnya di Bangli
Menikmati alam Munduk yang sejuk khas dataran tinggi, tanaman kopi, bunga biru, cokelat dan air terjun
Saya menemukan jalan untuk ke Mayong
Membawa saya menuju ke arah barat laut Pulau Bali
Tempat dimana Pelabuhan Gilimanuk berada
Gerbang menuju Pulau Jawa
Sebuah tempat bernama Pemuteran menunggu disana
Dibalik bukit
Pantai yang teduh
Orang – orang yang ramah
Menapaki jalan setapak yang menanjak
Menuju Bukit Kursi
Hamparan bukit menghijau
Pura Pabean
Pura Melanting
Pura Pulaki
Pura Jayaprana
Dan mencari sunyi ke Pura Menjangan
Air panas banyuwedang
Menyelami laut Taman Nasional Bali Barat lalu memasuki hutannya yang eksotis
Bali, surgaku sendiri
Dengan bertualang ternyata sirna segala stigma negatif yang saya sematkan pada diri sendiri
Stress dan depresi pun menghilang
Berganti semangat positif dan harapan baru
Mengambil keputusan cerai bukan berarti saya lemah
Mengambil keputusan cerai bukan berarti saya tidak bisa kembali ke ‘jalur utama’ dalam kehidupan
Mengambil keputusan cerai bukan berarti saya tidak cukup baik
Yah, katakanlah saya adalah ‘a good bad person’
I’ll take that as a compliment LOL
Dan inilah jawaban mengapa saya suka bertualang yang saya rangkum dalam 5 point ;
✨Bahwa petualangan membimbing saya untuk berada di saat ini – menjadikan saya lebih aware dan mempertajam rasa serta penglihatan saya untuk MENERIMA kehidupan saya di saat ini, di waktu yang tengah terjadi
✨Petualangan mengganti mood saya dengan cepat – dari gundah menjadi semangat – dari pikiran negatif menjadi positif
✨Selain kegiatan bertualangnya, tempat tujuan kita bertualang juga memiliki ‘jiwa’ yang pada akhirnya menenangkan dan mentransformasikan kita
Maka biarkanlah terjadi
Buka mata, buka hati
✨Ketika menghabiskan waktu sendiri, hanya dengan diri kita – itu justru adalah saat saat dimana kita akan dibukakan jalan untuk melihat lagi ke dalam diri dengan lebih seksama dan menghadapi segala ketakutan yang ada
✨ Last but not least, dengan bertualang saya belajar untuk menumbuhkan rasa syukur, atas apapun yang terjadi pada hidup saya, baik di masa lalu, masa kini hingga masa yang akan datang
Dan akhirnya…
This ‘vacation glow’ akan selalu membuat saya merasa berharga, layak, berani dan berdaya
Semoga semangat ini juga akan muncul dalam dirimu
Terima kasih sudah membaca hingga sejauh ini
Doa terbaik untuk kamu