Berkaitan dengan artikel sebelumnya tentang tantrum yang salah satunya disebabkan oleh media sosial, saya akhirnya banyak berpikir dan merenung hehehe. Hal ini berkaitan erat dengan empati seseorang, yang saya soroti dari sisi sederhana dan mungkin sepele. Mungkin pula tidak sepenuhnya disepakati oleh teman-teman.
Perenungan ini berawal saat awal pernikahan saya. Sebelum menikah, saya cukup aktif membuat story di whatsapp (karena dulu kontaknya adalah orang-orang pilihan) yang isinya berupa keseharian saya, beberapa info, dan hal-hal yang random. Bagi saya, selama saya tidak menyinggung perasaan orang lain, apa salahnya? Toh status juga status saya. Kebiasaan itu juga terbawa hingga di awal-awal pernikahan. Namanya orang bucin, pasti ada perasaan ingin membagikan momen keromantisan di depan publik hahaha. Tapi eh tapi, beberapa hari kami bersama, saat dalam perjalanan di Bandung, saya berniat mengambil suami secara candid, lalu akan saya unggah ke status whatsapp dengan kata-kata pada umumnya orang bucin. Ternyata, suami melarang. Selain karena beliau pemalu alias bukan tipe orang narsis, saya juga diingatkan untuk tidak ‘ngabibita’ atau membuat orang lain tergoda alias kepengen alias jadi iri. Dari situ, saya mulai bertanya-tanya dan perlahan menuruti saran suami.
Selengkapnya di arridlaid.com