Hari itu semua kegiatan berjalan seperti biasa. Tidak ada yang berbeda dari biasanya. Antrian swab antigen yang kian menumpuk, menjawab konsulan baik tatap muka maupun telemedicine, sesapan kopi bercampur susu hangat. Semua dilakukan layaknya rutinitas pagi hari yang biasa-biasa saja.
Sampai kemudian, sebuah kalimat bersenandung.
“Dok, besok di kantor kita mau ada donor darah yaaa..”, perkataan rekan saya di kantor langsung menyematkan rasa campur aduk dalam hati saya. Walaupun saya berprofesi sebagai tenaga kesehatan, tapi saya belum pernah berpartisipasi langsung di dalam kegiatan kemanusiaan donor darah. Apalagi menjadi pendonornya. Hehehehe.
Baiqlahh saya akan membuat pengakuan…
Jadi dulu di rumah sakit dimana saya melaksanakan pendidikan koas di kota Medan, ada pernah suatu waktu dimana PMI (Palang Merah Indonesia) mengadakan penyelenggaraan kegiatan donor darah di rumah sakit tersebut. Tapi dasar saya waktu itu masih dokter muda yang penakut. Melihat jarum, pisau scalpel, dan menyuntik mah biasa bagi saya, tapi tak pernah biasa jika saya di posisi yang menjadi objek. Wkwkwkwkwk (Baca : Menjadi yang disuntik; Menjadi yang ditusuk).
Pemberitahuan pun semakin berkumandang, bahwasanya semua personel di RSUP H.Adam Malik Medan (tempat saya pendidikan) harus bersedia menyumbangkan darahnya jika lolos melewati proses screening dan jika tidak ada hal-hal yang dikontraindikasikan untuk mendonorkan darah.
Tahu kah kalian apa yang saya lakukan setelah mendengar kabar itu? Kabur. Iya. Saya kabur ke rumah saya yang pada waktu itu memang berada tepat di depan RS. Saya pura-pura lagi ‘dapet’ sehingga saya memang tidak diperkenankan untuk mendonorkan darah.