Disclaimer!
Tulisan dibuat berdasarkan sudut pandang pribadi penulis
“Uda umur segini, apa lagi yang mau dikejar?”
“Kamu sudah mapan, karir bagus, punya paras yang oke. Nunggu apa lagi?”
“Si anu sudah menikah loh. Kamunya kapan nyusul?”
Pertanyaan-pertanyaan diatas sudah tidak asing kita dengar. Mengingat katanya orang Indonesia itu ramah-ramah. Tapi semakin kesini, menurut saya sudah tidak ramah lagi. Kenapa tidak ramah menurut saya? Karena saking ramahnya terkadang sampai tidak bisa membedakan antara ramah dengan mengulik ranah privasi orang lain.
Kata ramah sendiri didalam kamus KBBI memiliki arti “baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka bergaul dan menyenangkan dalam pergaulan”. Disitu ada kata “menarik budi bahasanya” dan “menyenangkan dalam pergaulan”. Ketika kamu sudah menyentuh ranah privasi orang lain dengan pertanyaan-pertanyaan yang menganggu, dimanakah letak budi bahasa yang menarik dan pergaulan yang menyenangkan itu?
Sebenarnya pertanyaan-pernyataan seperti itu sudah lama menganggu saya. Dulu waktu saya masih SMA, beberapa teman orangtua dan saudara suka sekali bertanya mau kuliah dimana, jurusan kuliahnya apa, dan lain sebagainya. Pada saat sudah saat tamat kuliahnya juga dipertanyakan akan kerja dimana. Ketika sudah kerja dimana, bahkan dipertanyakan kenapa bisa masuk ke perusahaan tersebut. Kok bisa masuk kesana. Kan masuk kesana susah, apakah memakai jasa “orang dalam”?
Tidak sampai disitu, setelah berhasil mendapatkan pekerjaan baik pun pertanyaan-pertanyaan mengganggu tersebut tidak berhenti. Masih ada pernyataan-pertanyaan beruntun lainnya yang tak lazim kita dengar. Sudah punya pekerjaan bagus, kapan menikah? Setelah menikah, kapan punya anak? Setelah punya anak kedua, kapan nambah anak lagi? Dan selanjutnya.
Tidak tahu mengapa, bagi saya pertanyaan seperti itu sungguh sangat menyudutkan dan menimbulkan beban di hati. Entah mengapa, hal-hal seperti itu menurut saya terlalu mencampuri keputusan atau pilihan hidup seseorang. Dan jikalau kita sudah mengetahui hal-hal pribadi orang lain seperti itu lantas apa efeknya kepada kita? Jika memberikan efek positif, maka bagus. Masalahnya, kebanyakan orang yang terbiasa bertanya hal-hal seperti itu adalah orang-orang yang merasa insecure dengan kehidupannya sendiri. Sehingga mereka menanyakan hal-hal privasi orang lain dengan harapan punya persamaan nasib sehingga merasa punya rekan senasib sepenanggungan.
Kita ambil contoh yang paling sering terjadi. Di Indonesia, banyak orang yang merasa terganggu dengan pertanyaan orang lain atas dirinya yaitu “kapan menikah?” dan akhirnya memutuskan menikah. Dan yang biasanya menanyakan hal tersebut biasanya belum menikah. Ataupun sudah menikah dan sudah tahu susahnya membangun sebuah kehidupan keluarga, namun tetap menyuruh orang menikah tanpa mengatakan kebenaran dari sebuah kehidupan berumahtangga. Sungguh konyol memang, tapi inilah bukti bahwa pertanyaan-pertanyaan judgemental seperti itu bisa mengubah keputusan hidup seseorang.
Di Indonesia menikah kerap diartikan sebagai happy ending-nya seseorang. Padahal dengan menikah, babak kehidupan seseorang baru akan dimulai. There are no such a Cinderella story in real life.
Unknown
Ketika sudah menikah pun, masih ada saja yang berani mengomentari kenapa make upsi pengantin wanita begini dan begitu. Kok makanan di pesta nikahannya si anu begitu, padahal kerja di perusahaan yang bonafit. Badan pengantin wanitanya kenapa melar, pasti sudah tidak perawan. Dan lain sebagainya. Memang tidak ada habisnya mendengarkan perkataan orang lain. Kita hanya punya dua tangan untuk menutup kedua telinga kita. Kita tidak punya ribuan tangan untuk menutup ribuan mulut nyinyir orang diluaran sana.
Sebenarnya kalau dipikir-pikir untuk apa menikah buru-buru? Apa yang harus dikejar sehingga harus memutuskan untuk menikah sedini mungkin? Apakah dengan menikah cepat lantas membuat seseorang menjadi manusia yang lebih baik? Saya rasa tidak.
Meskipun tidak semuanya, tapi pada kenyataannya banyak orang yang menurun kualitas hidupnya setelah menikah. Contohnya saja. Ada beberapa rekan yang saya ketahui setelah menikah, bahkan sudah memiliki anak namun malah semakin merasa tidak bahagia. Disamping ia harus mengurus segala keperluan tumbuh-kembang anaknya dan harus menunaikan tugasnya dipekerjaan kantor, ia juga menunaikan tugasnya sebagai seorang istri, yang dimana istri biasanya harus tunduk kepada suami. Katanya sekarang sudah marak emansipasi wanita. Kaum feminisme juga sudah banyak. Namun sayang, di Indonesia hal-hal seperti itu masih dianggap “dosa”. Kodrat wanita akan selamanya dibawah pria. Pendapat istri tidak sejajar dengan pendapat suami. Istri dianggap sebagai kaum lemah yang dianggap tidak boleh dan tidak kompeten dalam memutuskan sesuatu dalam kehidupan berumahtangga.
Tidak heran banyak perempuan yang setelah menikah menjadi tidak bahagia. Sudah disibukkan dengan perubahan hidup seperti melahirkan dan mengurus anak. Body size sudah tidak se-aduhai ketika masih gadis. Hormon pun tidak stabil usai melahirkan. Ditambah kurangnya dukungan secara moriil oleh para suami. Belum lagi harus kehilangan sahabat yang menganggap wanita yang telah menikah pasti sudah tidak asyik lagi diajak gaul dan nongkrong di cafe. Wanita menikah sudah kehilangan waktu dan tenaga untuk mengurus dirinya sendiri. Semua energi dihabiskan untuk mengurus perkara diluar kesenangannya pribadi. Para wanita yang sudah menikah dipaksa untuk menekan egonya sendiri.
Hal ini juga berlaku sebaliknya. Tidak hanya wanita, banyak pria yang merasa frustasi setelah menikah. Yang paling terasa bagi pria adalah kebebasannya. Tidak jauh berbeda dengan wanita sebenarnya.
Sebelum menikah, pria biasanya terbiasa hidup bebas. Bebas dalam menggunakan gajinya setiap bulannya. Bebas mau pulang kerumah jam berapa. Bebas mau nongkrong dengan teman-teman kapan saja. Bebas dalam segala aspek. Dan jika sudah berumahtangga, kebebasan tersebut terasa direnggut dari para pria. Setelah menikah, dalam hal finansial biasanya gaji suami setelah menikah sekian persennya harus disetor kepada istri. Sekian persen yang akan di setor tersebut semakin besar nominalnya jika si istri adalah Ibu Rumah Tangga. Belum lagi soal waktu. Setelah menikah para suami sudah ditunggu oleh istri yang sudah siap ingin menumpahkan 20.000 katanya dan anak yang sudah rindu untuk di emong. Banyak para pria yang setelah menikah meninggalkan hobi-hobinya semasa lajang karena keterbatasan uang dan waktu. Semuanya demi keluarga. Katanya.
Itu hanya jika melihat dari sisi kehidupan rumahtangga dari luar saja. Jika mau melihat kehidupan rumahtangga secara lebih dalam akan lebih memusingkan lagi. Karena menikah tidak hanya menikahkan kedua mempelai saja, namun juga menggabungkan kedua keluarga besar kedua mempelai.
Kita pasti tidak asing lagi melihat bagaimana rusaknya sebuah keluarga akibat terlalu banyaknya campur tangan dari keluarga besar. Ada saja komentar-komentar, ataupun keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan arahan dari orangtua, mertua, paman, tante, sepupu dan lain-lain. Padahal keputusan tersebut belum tentu yang terbaik. Karena sejatinya keputusan yang terbaik untuk sebuah keluarga adalah keputusan yang diambil oleh pasutri itu sendiri. Bukan keputusan yang diambil karena pengaruh diluar pasutri tersebut. Karena yang paling tahu kebutuhan pasutri tersebut sebenarnya adalah mereka berdua.
Kualitas hidup diukur oleh tingkat kebahagian dan produktifitas seseorang. Produktifitas disini dalam artian work life balance. Kehidupan rumahtangga, sosial dan hobby dapat berjalan beriringan dengan pekerjaan/usaha kita. Semakin produktifitas kita baik, maka diharapkan kehidupan seseorang semakin bahagia. Namun, hal-hal seperti ini akan sulit diraih seseorang yang telah menikah. Terutama bagi pasangan yang menikah tanpa ada bekal ilmu pernikahan terlebih dahulu.
Inilah yang menjadi momok kita bersama. Menikah adalah pembelajaran seumur hidup bagi kedua belah pihak mempelai. Begitupun menjadi orangtua. Perlu pembekalan yang panjang untuk menjadi orangtua. Namun ironisnya, sekolah pra-nikah dan sekolah parenting sangat susah dicari di Indonesia. Kalau pun ada, pasti harganya mahal. Begitu juga dengan orangtua kita dulu. Apa yang generasi kita alami yaitu minimnya ilmu pernikahan dan parenting juga dialami oleh orangtua kita dulu. Istilahnya “belajar-belajar disitu, nanti pintar-pintar disitu”. Hal ini seperti lingkaran setan. Jika kita tidak memutus rantai itu dari sekarang, kelak nanti kita akan mengajarkan hal yang serupa kepada generasi selanjutnya. Padahal persiapan yang baik merupakan kunci keberhasilan.
Pembelajaran mengenai kehidupan setelah berumahtangga yaitu marriage life, sex life dan ilmu parenting sangat tabu dibicarakan oleh orangtua ke anaknya. Kita terbiasa belajar hanya dengan melihat apa yang dilakukan orangtua kita sedari kita kecil hingga dewasa tanpa tahu ilmu yang benarnya seperti apa. Hal ini yang terus berulang sampai ke generasi sekarang
Maka dari itu, saya sangat mendukung dan terbuka sekali dengan orang yang sadar akan kapasitasnya dalam memutuskan apakah sudah mampu menikah atau tidak. Atau apakah sudah pantas menjadi orangtua atau tidak. Bahkan terkadang saya sangat mendukung orang-orang yang memilih melajang dulu ataupun hidup selibat. Apalagi memang orang tersebut bersedia menceritakan kenapa ia mengambil keputusan itu. Saya bisa berbicara seperti ini juga karena sudah menikah dan banyak melihat hal-hal yang tidak pernah ada yang mengatakannya kepada saya sebelum menikah dulu.
Sejatinya, menikah dan memiliki keturunan itu memerlukan kesiapan mental yang cukup. Belum lagi persiapan finansial yang biayanya tidak tanggung-tanggung. Maka dari itu, masing-masing dari kita perlu wawasan yang luas sebelum berbicara dan bertanya serta judge akan keputusan pilihan hidup seseorang. Bukan bagian kita untuk mengakimi keputusan hidup seseorang seperti kapan seseorang harus menikah, kapan seseorang harus punya anak, kapan seseorang harus kurus, dan sebagainya.
Bagi yang masih muda, daripada memikirkan kapan menikah lebih baik memikirkan potensi apa yang bisa dikembangkan didalam dirimu. Berprestasilah dibidang yang kamu suka atau kuasai. Jadilah manusia yang berdaya dan berprinsip. Menikahlah disaat kamu sudah siap, bukan disaat kamu merasa terdesak oleh omongan orang lain. Ingat, menikah itu tanggung jawabnya di kamu. Bukan di mulut orang lain.