fbpx

Merayakan Hari Perempuan Sedunia : Sebuah Fiksi #darisudutmata

8 March, 2024

Ada yang berbeda dengan laman google hari ini. Yup, perayaan Hari Perempuan Sedunia yang diperingati tepat hari ini, 8 Maret setiap tahunnya.

Seru sekali baca-baca blog yang ngebahas tentang hal ini, banyak perspektif baru dari berbagai sudut pandang yang asik buat dibaca. Sampai timbul keinginan buat nulis sesuatu juga.

Yup, fiksi yang saya tulis ini adalah untuk merayakan diri sendiri, anak perempuan, ibu dan siapapun di sana yang lupa pulang buat menemui satu-satunya perempuan yang paling layak dirayakan ; Ibu.

 

DARI SUDUT MATA

Ruangan tempat saya bersila kali ini berdinding bambu, lantainya bertekstur kasar. Kalau tak salah terka, bahannya kayu jati yang dipaku tak simetris. Padahal selang 60 detik lalu, saya ingat betul, lantainya adalah marmer berwarna bersih. Pun dindingnya, tembok kokoh berwarna kelabu, warna kesukaan saya dulu.

 

Pegal di sela jemari dan sekujur kaki tiba-tiba tak saya rasakan lagi. Gigi yang seharusnya susah hanya untuk sekedar memamah roti gandum, kali ini sibuk mencacah singkong goreng. Padahal satu menit lalu, saya baru saja seruput semangkuk sereal, tak sempat saya kunyah sebab semua gigi geraham tanggal sudah.

“Bapak, jangan lelet, nanti keburu magrib!” teriakan dari luar rumah mengehentikan kening yang berkerut bingung. Gegas saya buka pintu kayu hingga mencipta derit, akibat engselnya yang kadung longgar.

Dari kedua netra yang herannya masih awas, saya lihat dua anak laki-laki, satu gadis kecil dan pria paruh baya, menenteng sekepang belut, diikat dengan belukar. Saya kenal betul, meski rasanya aneh karena sosok-sosok itu ada dihidup saya puluhan tahun lalu.

 

“Emak! Ari bawa belut! Kita makan belut!” berlari-lari tanpa alas kaki meninggalkan tiga lainnya, salah satu anak umur 8 tahun menghampiri saya dengan senyum lebar.

Kendati tak menemukan gambaran atas anomali yang membingungkan, saya mengembang senyum amat lebar, menyambut penuh antusias. Dan seketika, heran yang berlipat dikening lindap sudah, berganti dengan rasa bahagia tak terkira.

“Mak, Ari mau Belutnya dibakar, ya!”

“Senja juga!”

“Wira mau digoreng!”

“Tapi bapak, mau dioseng”

Lantas saling mengejek dan berseteru lah mereka. Saya hanya menggeleng lalu bergegas menuju dapur, setelah sebelumnya berteriak, “Terserah emak! Kan emak yang masak!”

Seteru berlalu diganti dengan bunyi langkah kaki di lantai papan yang amat berisik, sahut-sahutan empat manusia berbeda generasi memenuhi rumah bambu yang tak luas. Lima menit lalu hujan turun, mereka sibuk menjinjing ember dan baskom untuk menampung tetesan air akibat genting yang mulai lapuk.

Sedang saya, asik di depan tungku demi mengolah berekor-ekor belut, yang saya yakin hasil tangkapan mereka dari sawah, lepas mencangkul tadi.

—-

“Enak, Mak!” Senja memekik dengan mulut penuh nasi berlauk belut. Hujan tinggal gerimis, kami duduk di tengah ruangan, makan sore dengan ramai.

“Mak, nanti Ari mau jadi pejabat! Biar bisa nurunin harga tempe.”

“Kalau Wira mau jadi pengusaha! Biar nanti kita nggak makan belut dan tutut dari sawah terus. Ya, walaupun enak sih.”

“Kalau Senja mau jadi model, Mak! Biar bisa beli baju dan rumah yang bagus buat emak dan bapak.”

Sedang saya, hanya menggumam ‘Aaamiin’ berpuluh-puluh kali, kadang dalam hati, kadang terdengar amat jelas. Senyum saya tak juga luntur sejak tadi, pun rasa bahagia.

Saya pandangi mereka satu persatu, anak-anak saya yang belia. Ketiganya masih sibuk memamah nasi, dan saling berlomba mengemukakan cita-cita dengan ramai dan amat hangat.

“Aamiin, Nak. InsyaAllah semua keinginan kalian tercapai.” Saya berdo’a dengan amat lirih, dengan amat memelas, berharap Tuhan dengar.

“Aaaminn.. Aamiinn.” Sedetik kemudian, kata yang saya bisikan seolah terdengar amat sangat jelas. Sedang, celoteh mereka, bunyi kunyahan, bahkan suara gerimis mendadak lenyap.

Membuka mata yang entah saja kapan terpejam, amat saya seseli. Sebab, seiring dengan kelopak mata terbuka, rasa bahagia yang membuat sesak pun ikut lindap.

Mimpi ataupun gambaran masa lalu, saya lebih memilih berada disana.

“Bu, Pak Ari, Pak Wira dan Bu Senja tadi telepon. Katanya, tidak bisa berkunjung lagi bulan ini.” Saya mengalih atensi pada satu-satunya manusia di sekitar saya. Orang asing, yang mereka pekerjakan untuk merawat saya sejak meraka merantau, bekerja sesuai yang saya dan keluarga aminkan.

Saya hanya mengangguk, mengangkat tubuh kurus yang terasa berat karena kelewat renta. Dari ruang tamu yang luas, saya berjalan lambat ke ruangan yang tak kalah luas pula, sebuah kamar.

Lalu memilih berbaring di dipan mahal dengan wajah menghandap tembok. Saya ingin menangis seperti anak kecil sekarang, boleh, ‘kan? Bagian dada saya sesak, bukan karena rasa bahagia. Saya patah hati, dengan teramat hebat, paling hebat, diumur saya yang ke-90.

SELESAI

Note :
Kepada pembaca yang budiman. Ada seorang wanita meminta saya menyampaikan pesan pada kalian. Katanya, bilang saja dari ibumu. Katanya, beliau rindu. Sempatkan lah pulang paling tidak satu kali dalam satu bulan, atau kalau kalian sibuk, satu kali dalam tiga bulan, atau empat bulan, atau enam bulan. Atau kalau kalian benar-benar tidak punya waktu luang, pulang lah, setidaknya satu kali dalam satu tahun. Katanya pula, sebuah sapa dari telepon malah membuatnya semakin rindu.

[Fiksi lain bisa dibaca di sini yaaa.]
Baca Selengkapnya
0 0 votes
Article Rating
Subscribe
Notify of
guest

0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments
RINI NURJANAH
Berdomisili di desa kecil ujung Kabuten Bandung Barat. Tertarik dengan dunia tulis menulis, buku, pekerjaan sosial, dan lifestyle.

Halo, !

Categories

More than 3500 female bloggers registered

PT. PEREMPUAN DIGITAL INDONESIA
Cyber 2 Tower 11TH Floor JL HR Rasuna Said Jakarta Selatan

calendar-full
0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x
linkedin facebook pinterest youtube rss twitter instagram facebook-blank rss-blank linkedin-blank pinterest youtube twitter instagram