hari-hari buruk yang telah bersinggungan dengan tapak kaki, jarum jam yang merekam erat bahwa afeksi milik pujangga ini nyaris mati. semuanya telah usai, semesta kembali merenggut tubuhmu dari pandangan. kau bilang cinta tak lagi pantas untuk kuraba. kau bilang rinduku tak seharusnya kembali melesat menusuk dada riuhmu. tetapi kau tak pernah bertanya dan tak mau tahu; bahwa namamu masih terpatri dengan abadi di dalam dadaku.
realita begitu keji, ingin rasanya kujadikan sebuah imaji. namun kepergian darimu adalah duri yang mesti kutelan bulat-bulat tanpa tetapi. tak apa, manis. tiada nama yang patut kau lempari tudingan atas tangismu selain aku. barangkali kini benakmu enggan kembali merenggut namaku sebab yang direkam erat oleh kepalamu hanyalah penggalan pedihnya saja.
hatiku kelewat rapuh, tetapi semuanya telah bersembunyi dengan apik di balik ragaku yang kau sangka tangguh. untuk apa pula kupertontonkan remuknya afeksiku secara terang-terangan jika tali ini sudah enggan saling bertaut. antara aku dan kau, keduanya sama-sama ingin melepas utasnya jauh. maka kubiarkan memori merasuk hilang dalam kelabu; tak ada yang bisa dihujani harap selain merelakan langkahmu yang melesak hilang tak bersisa, dan—
aku tak pernah mengira bahwa tuan akan menjadi bagian dari pedihku.