“Jika kamu mendidik seorang laki-laki, sesungguhnya kamu hanya mendidik satu dari jutaan penduduk bumi. Tapi jika kamu mendidik seorang perempuan, maka sesungguhnya engkau sedang mendidik sebuah bangsa” (mantan Presiden Tanzania).
Ungkapan tersebut sangat bersebrangan dengan perempuan yang ada di Indonesia. Semua terbukti dengan adanya kisah sejarah perjuangan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Hj. Rangkoya Rasuna Said merupakan pahlawan nasional yang selalu memperjuangkan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.
Rasuna Said perempuan yang pernah ditangkap dan dipenjara oleh Belanda karena kemampuan dan cara berpikirnya yang kritis. Setelah keluar dari penjara, Rasuna Said melanjutkan pendidikannya di Islamic College pimpinan KH Mochtar Jahja dan Dr Kusuma Atmaja.
Rasuna Said sangatlah memperhatikan kemajuan dan pendidikan kaum perempuan, terbukti pada tahun 1923 Rangkayo Rahman Al-Yunusia, saudara perempuan Zainuddin Labai Al-Yunusi, mendirikan Madrasah “Diniah Putri”[1]
Perjuangan Rasuna Said untuk membawa perubahan dan mengupayakan gerakan emansipasi saat itu, kini menjadi pembahasan yang tak pernah terselesaikan. Gerakan emansipasi menuntut adanya kesetaraan gender. Sosok perempuan yang berprestasi dan juga menyeimbangkan antara keluarga dan karir menjadi sangat langka ditemukan. Perempuan seringkali merasa takut untuk berkarir karena tuntutan perannya sebagai ibu rumah tangga. Data yang ada menunjukkan bahwa perempuan secara konsisten berada pada posisi yang merugikan disbanding laki-laki, Adapun isu utama kesenjangan gender yaitu:
Pertama, pola pernikahan yang merugikan pihak perempuan. Pernikahan dini adalah suatu hal yang lazim dialami perempuan Indonesia. Khususnya didaerah Pedesaan. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2004 memperkirakan 13% dari perempuan Indonesia menikah di umur 15-19 tahun.
Hukum perkawinan di Indonesia menganggap laki-laki sebagai kepala rumah tangga dan pencari nafkah keluarga. Sedangkan, tugas-tugas rumah tangga termasuk membesarkan anak umumnya dilakukan oleh perempuan.
Kedua, kesenjangan gender di dunia pekerjaan. Adanya segmentasi jenis kelamin Angkatan kerja, praktik penerimaan dan promosi karyawan yang bersifat deskriminatif atas dasar gender membuat perempuan terkosentrasi dalam sejumlah kecil sektor perekonomian, umumnya pada pekerjaan yang berstatus lebih lebih rendah daripada laki-laki. Asumsi masyarakat yang menyatakan bahwa pekerjaan perempuan hanya sekedar tambahan peran dan tambahan penghasilan keluarga juga menjadi salah satu sebab rendahnya tingkat partisipasi tenaga kerja perempuan.
[1] Mardanas Safwan, Sejarah Pendidikan Daerah Sumatera Barat, 1997, hlm.91.