Oleh: Nurul Rabiatul Adawiyah
Ada yang tahu fungsi dan tujuan dari pendidikan? Yah bener mencetak generasi yang cemerlang, generasi yang hebat, generasi yang super power. Tapi tahu tidak? Faktanya sistem pendidikan selama ini masih banyak mengandung banyak kelemahan, masih banyak kekurangannya. Apa kelemahan terbesarnya? Kelemahan terbesarnya adalah, bahwa sistem pendidikan yang digunakan selama ini hanya mampu mencetak manusia “tukang” walau kita lihat ada yang memiliki gelar tinggi bahkan profesional, tapi hanya mampu menempati posisi kelas bawah, kelas buruh, kelas pekerja, atau bahasa kerennya adalah kelas “jongos”
Sistem pendidikan seperti ini hanya akan membuat negeri ini menjadi semakin terpuruk, semakin tertinggal, semakin terjajah. Sistem pendidikan seperti ini tidak akan mampu membangkitkan anak didik, tidak akan mampu mencerahkan pemikiran anak didik, tidak akan mampu menjadikan negeri ini menjadi negeri yang maju, negeri yang super power, negeri yang seharusnya memimpin dunia. Kenapa bisa seperti itu? Coba kita tengok wajah sistem pendidikan saat ini
Di dalam dunia pendidikan begitu marak terjadi kasus kekerasan seksual, baik itu terjadi pada teman-teman kita, tentangga, bahkan ada juga terjadi pada lingkup keluarga. Maraknya kasus kekerasan seksual yang terjadi di dunia pendidikan ini karena aturan yang diterapkan tidak kuat. Bisa kita lihat baru-baru ini Kementrian Agama (Kemenag) memberikan peringatan atau sanksi kepada satuan pendidikan atau sekolah di bawah Kemenag jika tidak melakukan pencegahan dan penanganan terhadap kasus kekerasan seksual di setiap lembaganya masing-masing
Hal ini tercantum dalam pasal 19 Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 73 tahun 2022 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan pada Kementerian Agama. Beleid sudah ditandatangani Menag Yaqut Cholil Qoumas pada 5 Oktober 2022. Dikutip (kompas.com jum’at 14/10/22)
Dalam aturan, sanksi yang diberikan adalah sanksi administratif, berupa teguran lisan, peringatan tertulis, penghentian bantuan, pembekuan izin, hingga pencabutan tanda daftar satuan pendidikan.
Adapun pencegahan oleh satuan pendidikan berupa sosialisasi, pembelajaran, penguatan tata kelola, penguatan budaya, dan kegiatan lainnya sesuai dengan kebutuhan.
Sementara untuk penanganan, meliputi pelaporan, perlindungan, pendampingan, penindakan, dan pemulihan korban. Dalam pelaporan, pelapor menyampaikan laporan terjadinya kekerasan seksual kepada pimpinan secara lisan atau tertulis baik langsung atau pun tidak langsung.
Jika kekerasan dilakukan oleh pimpinan satuan pendidikan, laporan dapat disampaikan kepada penyelenggara satuan pendidikan, dewan masyayikh, kepala kantor Kemenag, kepala kantor wilayah, kepala pusat, atau direktur jenderal sesuai kewenangannya masing-masing.
Selain dari itu PMA juga mengatur terkait dengan satuan pendidikan, seperti melakukan sosialisasi, pengembangan kurikulum dan pembelajaran, penyusunan SOP pencegahan, serta pengembangan jejaring komunikasi. Satuan pendidikan dapat berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga, pemerintah daerah, perguruan tinggi, satuan pendidikan lain, masyarakat, dan orang tua peserta didik. Dikutip (www.kemenga.co.id, kamis 13/10/22)
Jadi, pernyataan diatas merupakan sebuah peringatan dan sanksi yang didapatkan oleh siapapun yang melakukan kekerasa seksual. Peringatan ini diberikan kepada setiap pimpinan pendidikan, guru, peserta didik, bahkan juga masyarakat. Tapi, Yakin nggak sih aturan-aturan itu mampu mengatasi kasus kekerasan seksual?
Coba kita lihat problematika sebelumnya, kekerasan terhadap anak nyatanya sering terjadi di depan mata meski sudah ada beragam regulasi dan kampanye untuk mencegah kekerasan terhadap anak termasuk kekerasan seksual? Bukankah ada Gerakan Nasional Anti-Kejahatan Seksual terhadap Anak pada 2014 dan Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM) pada 2016?
Akan tetapi, berbagai gerakan tersebut tidak mampu mengurangi kekerasan seksual. Begitu juga adanya UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak yang bahkan sudah direvisi dua kali tapi tidak mampu menghentikan kekerasan seksual meskipun ada pemberatan hukuman, denda rupiah yang berlipat, bahkan hukuman kebiri kimia.
Fakta ini membuktikan regulasi tidak mampu menjadi solusi. Banyak faktor yang berperan terhadap maraknya kekerasan di satuan pendidikan di bawah koordinasi Kemenag. PMA PPKS sudah pasti tidak akan mampu memberantas dengan tuntas.
Pemberantasannya tentu membutuhkan langkah yang komprehensif yang menyasar kepada akar masalah, dan tidak cukup hanya di lingkungan Kemenag saja. Walau berkali-kali ngerivisi UU atau membuat UU baru untuk mencegah kekerasan seksual tetap tidak akan mampu menuntaskan masalah ini, karena yang barus dipahami adalah akar dari problematika tersebut. Apa akar permasalahannya? Permasalahan terbesarnya adalah terletak pada sebuah ideologi yang di embannya, yakni ideologi kapitalisme yang berasaskan sekularisme. Sebuah ideologi yang dimana UU-nya dibuat berdasarkan hawa nafsu dan aqal manusia yang terbatas.
Sebuah UU yang mandul tidak bisa mengharapkan solusi yang hakiki, justru yang terjadi kedepannya akan muncul regulasi dan problem baru. Selama hawa nafsu menjadi panglima, liberalisasi perilaku menjadi napasnya, kekerasan akan selalu ada. Inilah jerat sekularisme.
Sistem Islam memliki berbagai mekanisme yang mampu memberantas kekerasan seksual secara tuntas. Semisal dengan diterapkan hukum rajam dan cambuk bagi yang melukan pelecehan seksual.
Regulasi yang berasaskan akidah Islam akan mampu secara nyata mewujudkan perlindungan sejati. Selain dari itu tujuan dari pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian Islam serta membekalinya dengan berbagai Ilmu dan pengetahuan yang berhubungan dengan kehidupan.
Kurikulum pendidikan wajib berlandaskan Islam. Metode penyampaian pelajaran disusun tanpa adanya penyimpangan sedikitpun dalam pendidikan dari asas tersebut. Tujuan utama dari pendidikan itu sendiri membentuk pola aqliyah dan nafsiyah yang Islami. Selain dari itu juga setiap masyarakat dan guru semuanya wajib mempelajari dan memahami Islam secara totalitas. Sehingga jika aqidah yang mereka emban mampu melahirkan pola aqliyah dan nafsiyah yang Islami maka mustahil pelecahan atau kasus kekerasan seksual terjadi pada dunia pendidikan.
Selain dari itu aqidah Islam juga mendorong seseorang untuk berperilaku baik terhadap sesama, termasuk terhadap perempuan dan anak. Berlaku baik adalah perintah Allah Taala. Salah satunya dalam QS Al-Baqarah: 195, “Dan berbuat baiklah. Sungguh Allah mencintai orang-orang yang berbuat baik.”
Rasulullah saw, juga bersabda, “Aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik kepada para wanita.” (HR Muslim 3729)
Dunia pendidikan saat ini membutuhkan pemimpin negara yang akan menjadi perisai yang akan mewujudkan pelindungan secara nyata. Pemimpin yang mampu menutup semua celah yang bisa memicu segala kekerasan seksual.
Semua itu hanya akan terwujud dengan tegaknya Khilafah Islamiah karena hanya Khilafah yang mampu menerapkan aturan Allah secara kafah dalam kehidupan.
Waulahu alam bishowwab