“Bu, ini bukan soal mau tidak mau, lho, bu. Sesuai dengan peraturan dari akademik, pertemuan kita harus lengkap minimal tiga belas kali pertemuan, lho, bu. Jadi, ini sebabnya saya menghibau teman-teman untuk semuanya datang dan berpikir bagaimana kelas kita bersama ibu. Gitu, lho, bu.” Muna, salah seorang mahasiswa di kelasku memberi saran sekaligus menohokku.
Hari ini aku sedang membicarakan tentang jam ganti pertemuan sekitar dua sampai tiga kali lagi di kelas mata kuliah Jurnalisme Damai dan Bencana. Aku sudah tahu jawaban mereka. Jadwal penuh seharian, pulang kampung, tidak ada lokal, sampai alasan remeh temeh yang tidak bisa aku terima secara logika. Aku pahami, mungkin metodeku mengajar sedikit membosankan. Mungkin mereka tidak menyukaiku. Sederet mungkin lainnya juga membenarkan aku dan semua alasan mereka.